Menjadi arbiter profesional bukan hanya soal pengalaman dalam dunia hukum, tetapi juga membutuhkan pemenuhan sejumlah syarat menjadi arbiter yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Di balik mekanisme arbitrase, arbiter berperan sebagai figur kunci yang dipercaya untuk memeriksa dan memutus perkara. Meski demikian, untuk dapat menjadi arbiter tidak cukup hanya bermodal niat. Ada syarat-syarat hukum serta kualifikasi tertentu yang perlu dipahami terlebih dahulu. Artikel ini akan mengulas syarat menjadi arbiter serta dasar hukumnya.
Arbitrase: Definisi dan Peran Penting Arbiter
Arbitrase adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution) yang dipilih secara sukarela oleh para pihak. Dalam arbitrase, sengketa tidak diselesaikan oleh hakim di pengadilan negeri, melainkan oleh arbiter yang bersifat netral dan independen.
Berbeda dengan pengacara atau advokat yang bertugas membela kepentingan salah satu pihak, arbiter berperan sebagai penentu putusan. Posisi arbiter dapat dianalogikan sebagai “hakim swasta” yang memutus perkara dengan sifat final dan mengikat (final and binding).
Dasar Hukum: Syarat Menjadi Arbiter Menurut UU No. 30 Tahun 1999
Untuk mengetahui apa saja syarat menjadi arbiter, Anda dapat menemukannya dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berperan sebagai dasar hukum utama yang berlaku. Pasal ini terdiri atas beberapa syarat yang wajib dipenuhi, yaitu:
- Cakap melakukan tindakan hukum.
- Berusia minimal 35 tahun.
- Memiliki pengalaman serta menguasai bidang tertentu secara aktif paling sedikit 15 tahun.
Tidak memiliki hubungan keluarga sedarah/semenda sampai derajat kedua dengan para pihak. - Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase.
Selain itu, Pasal 12 ayat (2) juga menegaskan bahwa hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga dua prinsip utama arbitrase, yaitu:
- Independensi, yaitu kebebasan arbiter dari hubungan dengan para pihak, baik hubungan finansial maupun bentuk hubungan lain yang berpotensi memengaruhi objektivitas.
- Imparsialitas, yaitu ketiadaan bias aktual maupun bias yang tampak (actual or apparent bias) terhadap para pihak atau isu yang disengketakan.
Kedua prinsip ini menjadi fondasi utama arbitrase, karena para pihak hanya akan mempercayai proses jika arbiter benar-benar bebas dari pengaruh dan tidak memihak salah satu pihak. Oleh karena itu, prinsip-prinsip ini juga sangat penting dan menjadi hal utama yang harus dimiliki seorang arbiter agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan profesional.
Dalam praktiknya, pemilihan arbiter dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Namun, apabila para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai siapa yang akan menjadi arbiter, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat ditunjuk untuk memilih atau menetapkan arbiter sesuai permintaan salah satu pihak.
Baca Juga: Prosedur Pembatalan Putusan Arbitrase Secara Hukum
Makna Pengalaman 15 Tahun dalam Pasal 12 Ayat (1) Huruf e
Dari syarat-syarat menjadi arbiter di atas, poin mengenai minimal pengalaman menimbulkan banyak pertanyaan. Pengalaman apa yang dimaksud disini? Apakah yang dimaksud pengalaman sebagai arbiter? Jawabannya, bukan. Yang dimaksud adalah pengalaman profesional di bidang keahliannya. Misalnya:
- Pengacara dengan pengalaman praktik hukum bisnis selama 15 tahun.
- Akuntan publik senior dengan 15 tahun pengalaman audit perusahaan.
- Insinyur pertambangan dengan pengalaman panjang di sektor tambang.
Syarat menjadi arbiter ini dimaksudkan agar arbiter benar-benar matang secara profesional, memiliki keahlian mendalam, serta kredibilitas tinggi sebelum dipercaya untuk memutus suatu perkara.
Selain itu, pengalaman di bidangnya penting karena sengketa yang dibawa ke arbitrase umumnya menyangkut isu teknis atau komersial yang kompleks. Dengan latar belakang keahlian yang sesuai, arbiter dapat lebih memahami konteks masalah, menilai bukti secara tepat, dan memberikan putusan yang relevan dengan karakter sengketanya.
Jenis Arbiter: Ad-Hoc dan Institusional
Selain itu secara umum, ada dua jalur menjadi arbiter dalam suatu proses arbitrase, yaitu:
1. Arbiter Ad-Hoc
Arbiter Ad-Hoc adalah arbiter yang dipilih langsung oleh para pihak untuk menangani sengketa tertentu. Arbiter ini tidak memiliki daftar permanen, sehingga pihak yang bersengketa bebas menunjuk siapa saja yang mereka percaya, selama memenuhi syarat yang diatur oleh undang-undang.
Aturan prosedur arbitrase juga ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak atau mengikuti aturan internasional yang netral, seperti UNCITRAL Arbitration Rules.
Keunggulan jalur ini adalah fleksibilitasnya. Namun, kelemahannya, dapat terjadi kebuntuan (deadlock) jika para pihak tidak sepakat mengenai arbiter atau prosedurnya.
2. Arbiter Institusional
Arbiter institusional adalah arbiter yang bernaung di bawah lembaga arbitrase permanen, misalnya BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), ICC (International Chamber of Commerce), atau SIAC (Singapore International Arbitration Centre).
Berbeda dengan jalur ad-hoc yang tidak memiliki daftar permanen, lembaga arbitrase biasanya menyediakan daftar arbiter profesional. Para pihak dapat memilih arbiter dari daftar tersebut, dan jika tidak mencapai kesepakatan, lembaga dapat menunjuk arbiter untuk menangani sengketa.
Proses arbitrase dengan arbiter institusional cenderung lebih terstruktur karena mengikuti aturan baku lembaga dan didukung administrasi yang lengkap.
Kedua jenis arbitrase ini sama-sama sah dan diakui undang-undang. Perbedaannya hanya pada tingkat keleluasaan dan dukungan administrasi yang tersedia.
Langkah Menjadi Arbiter Profesional
Tapi, untuk menjadi arbiter profesional adalah sebuah perjalanan panjang, bukan suatu langkah instan. Berikut beberapa tahapan penting yang perlu diperhatikan:
- Membangun pengalaman profesional minimal 15 tahun di bidang yang relevan (hukum, bisnis, teknik, akuntansi, dll.).
- Mengikuti pelatihan atau sertifikasi arbitrase yang diadakan lembaga resmi, untuk memperkuat pemahaman prosedural.
- Menjaga reputasi dan integritas, karena arbiter dituntut netral, independen, dan adil.
- Masuk ke daftar lembaga arbitrase (seperti BANI) agar lebih mudah dipercaya dan dipilih oleh para pihak.
- Jika tidak melalui lembaga, tetap bisa menjadi arbiter ad-hoc, asalkan memiliki kredibilitas profesional yang diakui para pihak yang bersengketa.
Gunakan Legal Hero untuk Riset Hukum!
Untuk menjadi arbiter profesional, Anda harus selalu menguasai peraturan perundang-undangan terbaru agar setiap putusan yang dihasilkan tetap relevan dan dapat dipercaya.
Dengan Legal Hero, Anda dapat mengakses regulasi terkini dan putusan pengadilan dalam hitungan detik. Solusi ini membantu Anda tetap up-to-date, efisien, dan siap menghadapi kompleksitas sengketa bisnis maupun hukum.
