Membagi warisan adalah hal penting yang harus dilakukan sesuai aturan hukum agar hak ahli waris terlindungi dan sengketa dapat dihindari. Di Indonesia, pembagian warisan diatur melalui beberapa sumber hukum, tergantung pada agama, status pewaris, dan tradisi setempat. Memahami sumber hukum ini menjadi langkah awal untuk memastikan pembagian warisan berjalan adil dan sah.
Artikel ini akan membahas secara lengkap pembagian warisan di Indonesia dan hal-hal penting yang perlu Anda ketahui.
Sumber hukum waris (KHI, Adat, KUHPer)
Memahami sumber-sumber hukum waris sangat penting agar hak ahli waris sah tetap terlindungi. Berikut ketiga jenis sumber hukum waris:
1. KHI (Kompilasi Hukum Islam)
KHI berlaku bagi umat Muslim dan menjadi rujukan utama dalam pembagian warisan. Dasar hukumnya adalah Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991). Beberapa pasal penting terkait waris antara lain:
- Pasal 176–186 → mengatur hak ahli waris seperti anak, istri/suami, orang tua.
- Pasal 187–189 → mengatur pembagian warisan bila pewaris meninggalkan beberapa ahli waris sekaligus.
KHI menetapkan prinsip-prinsip yang harus dipatuhi agar pembagian warisan berjalan adil dan sesuai syariat.
2. KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
KUHPerdata berlaku bagi warga non-Muslim dan menjadi pedoman hukum nasional terkait warisan. Dasar hukumnya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Buku II tentang Benda dan Warisan, khususnya:
- Pasal 830–853 KUHPer → mengatur urutan ahli waris dan hak mereka.
- Pasal 854–873 KUHPer → mengatur pembagian harta peninggalan, termasuk jika ada beberapa ahli waris.
KUHPerdata memastikan setiap warga non-Muslim memiliki dasar hukum yang jelas dalam menerima warisan.
3. Hukum Adat
Hukum adat berlaku di daerah tertentu dan berbeda-beda tergantung tradisi setempat. Dasarnya bersifat tradisi/lokal, dijalankan melalui kesepakatan keluarga atau tokoh adat. Beberapa adat menekankan garis keturunan tertentu, sementara yang lain bersifat egaliter. Hukum adat sering digunakan untuk menyelesaikan sengketa warisan secara musyawarah, namun tidak bisa mengesampingkan ketentuan KHI atau KUHPerdata.
Apakah boleh dibagi sebelum meninggal?
Secara umum, pembagian warisan di Indonesia hanya dapat dilakukan setelah pewaris meninggal.
Bagi umat Muslim, aturan ini diatur dalam KHI Pasal 171(b), yang berbunyi:
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan
Pembagian warisan dilakukan sesuai ketentuan syariat, termasuk hak anak, istri/suami, dan orang tua, sehingga setiap ahli waris menerima bagian yang adil dan sah.
Untuk warga non-Muslim, KUHPerdata mengatur hal serupa melalui Pasal 830 KUHPer, yang juga berbunyi:
Pewarisan hanya terjadi karena kematian
Aturan ini memastikan bahwa setiap ahli waris non-Muslim memiliki dasar hukum yang jelas untuk menerima warisan.
Sementara itu, hukum adat berbeda-beda tergantung daerahnya. Misalnya, dalam adat Minangkabau, warisan biasanya dibagikan berdasarkan garis keturunan laki-laki setelah pewaris meninggal, namun mekanismenya tetap menyesuaikan musyawarah keluarga setempat.
Dengan demikian, meskipun mekanisme dan rincian pembagiannya berbeda-beda, semua sumber hukum sepakat bahwa warisan tidak bisa dibagi sebelum pewaris meninggal.
Jika Tetap Ingin Membagi Warisan Saat Masih Hidup
Tetapi, meskipun secara hukum baik KHI, KUHPerdata, maupun hukum adat sepakat bahwa warisan hanya bisa dibagikan setelah pewaris meninggal, beberapa orang tetap mempertimbangkan untuk membagi harta semasa hidup. Dalam praktiknya, pembagian harta sebelum meninggal bukan warisan, melainkan hibah atau pemberian hadiah.
Baca Juga: Perbedaan Hibah dan Warisan: Apa yang Perlu Anda Ketahui?
Untuk umat Muslim, hibah diatur dalam KHI Pasal 210–214. Orang tua dapat memberikan sebagian hartanya kepada anak semasa hidup sebagai hibah. Pasal 211 menjelaskan bahwa hibah yang diberikan kepada anak dapat diperhitungkan sebagai bagian dari warisan. Artinya, ketika pewaris meninggal, harta yang pernah diberikan sebagai hibah akan diperhitungkan agar hak ahli waris wajib tetap terpenuhi. Dengan kata lain, anak tidak langsung memperoleh “bagian warisan” saat orang tua masih hidup, tapi hibah tersebut dihitung ketika pembagian warisan resmi dilakukan.
Bagi warga non-Muslim, hibah diatur melalui KUHPerdata Pasal 1666–1675, yang mengatur pemberian harta semasa hidup kepada pihak lain. Hibah ini berbeda dengan warisan karena hak ahli waris tetap timbul setelah pewaris meninggal, sehingga harta hibah tidak otomatis mengurangi hak legal mereka jika dilakukan dengan benar.
Dengan demikian, pembagian harta semasa hidup hanya dapat dilakukan melalui hibah, bukan warisan, dan tetap harus memperhatikan ketentuan hukum agar tidak merugikan hak ahli waris serta mengurangi risiko sengketa.
Risiko Jika Tetap Membagi Warisan Saat Masih Hidup
Perlu Anda ketahui, membagi warisan sebelum pewaris meninggal menimbulkan sejumlah risiko hukum. Untuk umat Muslim, pembagian yang bertentangan dengan ketentuan KHI dapat digugat oleh ahli waris, terutama jika hak ahli waris wajib tidak terpenuhi atau hibah tidak diperhitungkan dengan benar.
Bagi warga non-Muslim, jika pembagian harta sebelum meninggal tidak sesuai KUHPerdata, ahli waris dapat menuntut haknya di pengadilan, dan harta yang dibagikan dapat dianggap tidak sah.
Dalam hukum adat, meskipun keluarga setuju, pembagian semasa hidup yang tidak mengikuti aturan nasional atau agama dapat menimbulkan konflik dan sengketa antar ahli waris.
Risiko utama dari tindakan ini adalah potensi perselisihan hukum, sengketa keluarga, dan hilangnya kejelasan hak ahli waris, yang bisa menimbulkan ketegangan bahkan kerugian finansial bagi semua pihak.
Konsultasikan Hukum Hak Waris Anda Bersama Hukumku
Jika Anda sedang mempertimbangkan pembagian warisan atau ingin memastikan hak ahli waris terpenuhi, ayo konsultasikan sekarang dengan mitra advokat HukumKu dan dapatkan panduan hukum yang jelas, aman, dan bebas risiko!
