Kerusuhan atau huru-hara bisa mengganggu kelancaran usaha secara signifikan. Toko atau pabrik yang selama ini berjalan lancar bisa saja berhenti beroperasi, pengiriman barang tertunda, dan aktivitas bisnis lainnya.
Artikel ini akan membahas bagaimana perusahaan menghadapi situasi seperti ini dalam konteks kewajiban membayar hutang, termasuk peran force majeure, risiko wanprestasi, syarat force majeure, dan langkah-langkah cerdas agar kewajiban tetap dapat dikelola dengan baik.
Force Majeure
Dalam kontrak, istilah force majeure atau keadaan kahar merujuk pada kejadian di luar kendali para pihak yang membuat pelaksanaan kewajiban sulit atau bahkan mustahil. Kerusuhan, misalnya, bisa termasuk dalam kategori ini karena mengganggu operasional dan arus pembayaran hutang. Berdasarkan Pasal 1244 KUHPerdata, dikatakan bahwa:
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
Debitur pada dasarnya harus membayar ganti rugi jika gagal memenuhi perikatan. Namun, debitur bisa dibebaskan dari tanggung jawab bila kegagalan itu disebabkan oleh hal yang tak terduga dan di luar kemampuannya.
Sementara itu, Pasal 1245 KUHPerdata juga menyatakan:
Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
Pasal ini menegaskan bahwa jika debitur terhalang oleh keadaan memaksa atau peristiwa kebetulan sehingga tidak dapat melakukan apa yang diwajibkan atau dilarang baginya, maka tidak ada kewajiban membayar ganti rugi.
Syarat Force Majeure
Agar force majeure dapat dijadikan dasar menunda pembayaran hutang, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Secara hukum, Pasal 1244 dan 1245 menjelaskan bahwa debitur hanya terbebas dari ganti rugi jika:
1. Kejadian di Luar Kendali Para Pihak – Misalnya kerusuhan, bencana alam, atau peristiwa tak terduga lainnya.
2. Kejadian Bersifat Tak Terduga – Peristiwa tersebut tidak dapat diperkirakan saat kontrak dibuat.
3. Kejadian Membuat Pelaksanaan Kewajiban Mustahil – Bukan sekadar merepotkan atau menyulitkan; kewajiban benar-benar tidak bisa dipenuhi.
4. Debitur Tidak Bersalah atau Tidak Berniat Buruk – Kegagalan pelaksanaan bukan karena itikad buruk debitur.
Jika semua syarat ini terpenuhi, force majeure sah digunakan sebagai dasar penundaan pembayaran hutang.
Adanya Risiko Wanprestasi
Jika kewajiban pembayaran hutang tidak dipenuhi tanpa dasar force majeure yang jelas, kondisi ini dapat dikategorikan sebagai wanprestasi. Berdasarkan Pasal 1238 KUHPerdata, debitur yang tidak memenuhi prestasinya tepat waktu wajib membayar ganti rugi kepada kreditor.
Dengan kata lain, jika perusahaan menunda pembayaran hutang tanpa bukti dampak signifikan akibat kerusuhan, kreditor berhak menuntut pelunasan sesuai kontrak.
Konsultasikan Kebutuhan Hukum Perusahaan Anda Bersama Hukumku
Untuk memastikan langkah hukum lebih aman dan tepat, Hukumku hadir sebagai aplikasi yang menghubungkan Anda dengan mitra advokat hukum berpengalaman. Download aplikasi Hukumku sekarang dan konsultasikan masalah Anda langsung! Atau klik link berikut ini untuk terhubung dengan tim Hukumku.
