Arbitrase sering dipandang sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang lebih cepat, rahasia, dan fleksibel dibandingkan litigasi di pengadilan. Namun dalam praktik, tidak sedikit tantangan yang dihadapi oleh para praktisi hukum. Mulai dari aspek teknis hingga substansi hukum, setiap tantangan menuntut strategi khusus agar proses arbitrase tetap efektif.
Artikel ini akan membahas tantangan utama dalam arbitrase dan solusi praktis yang bisa diterapkan, terutama merujuk pada kerangka hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Tantangan dalam Proses Arbitras
Walaupun arbitrase menjadi pilihan banyak pihak dalam kontrak bisnis, faktanya ada berbagai hambatan yang muncul di lapangan. Tantangan ini mencakup aspek prosedural, biaya, hingga eksekusi putusan.
- Keterbatasan Pemahaman Para Pihak
Banyak pihak yang hanya mencantumkan klausul arbitrase dalam kontrak tanpa benar-benar memahami konsekuensinya. Akibatnya, ketika sengketa terjadi, sering muncul perdebatan apakah arbitrase bisa langsung dijalankan atau masih perlu melalui pengadilan.
Bagi praktisi hukum, hal ini menjadi beban tambahan karena harus memberikan edukasi mendalam kepada klien, bahkan sejak tahap negosiasi kontrak.
- Biaya yang Tidak Selalu Lebih Murah
Salah satu alasan memilih arbitrase adalah efisiensi biaya. Namun, dalam kenyataannya, biaya administrasi lembaga arbitrase, honor arbiter, serta biaya saksi ahli bisa lebih tinggi dibanding litigasi biasa.
Praktisi hukum seringkali kesulitan meyakinkan klien bahwa biaya tersebut sebanding dengan keuntungan proses arbitrase yang lebih cepat dan rahasia.
- Proses yang Ternyata Tidak Selalu Cepat
UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memang mengatur batas waktu tertentu bagi penyelesaian sengketa arbitrase, misalnya putusan arbitrase wajib dijatuhkan dalam waktu 180 hari sejak arbiter dibentuk. Namun, dalam praktik, prosedur tambahan, permintaan penundaan, atau kompleksitas perkara bisa memperpanjang durasi.
Hal ini membuat arbitrase tidak selalu secepat yang dibayangkan klien, sehingga menjadi tantangan bagi praktisi dalam mengelola ekspektasi.
- Keterbatasan Intervensi Pengadilan
Salah satu ciri arbitrase adalah prinsip final and binding, yang berarti putusan arbitrase bersifat akhir dan tidak bisa diajukan banding. Namun, sifat ini juga menjadi tantangan, sebab ruang koreksi atas putusan sangat terbatas.
Berdasarkan Pasal 70, pembatalan putusan arbitrase hanya dapat diajukan ke pengadilan jika terbukti adanya:
- dokumen yang dipalsukan,
- bukti yang disembunyikan, atau
- putusan yang melanggar ketertiban umum.
Artinya, jika arbiter salah menerapkan hukum tetapi tidak termasuk alasan pembatalan, putusan tetap berlaku. Ini bisa sangat merugikan salah satu pihak.
- Eksekusi Putusan Arbitrase
Tantangan terbesar lainnya adalah eksekusi putusan arbitrase, terutama terhadap pihak yang tidak kooperatif. Walaupun Pasal 59 menyatakan bahwa putusan arbitrase dapat dimohonkan eksekusinya ke pengadilan negeri, dalam praktik sering muncul hambatan administratif, perlawanan dari pihak kalah, bahkan kendala politik atau bisnis.
Bagi praktisi hukum, memastikan putusan arbitrase benar-benar terlaksana bisa lebih rumit dibanding memenangkan proses arbitrase itu sendiri.
Solusi dalam Menghadapi Tantangan Sidang Arbitrase
Meskipun banyak tantangan, terdapat berbagai strategi yang dapat ditempuh oleh praktisi hukum agar arbitrase berjalan lebih efektif.
- Perumusan Klausul Arbitrase yang Jelas
Solusi pertama dimulai sejak penyusunan kontrak. Praktisi hukum harus memastikan klausul arbitrase dirumuskan dengan jelas, mencakup:
- lembaga arbitrase yang dipilih,
- jumlah arbiter,
- tempat arbitrase,
- hukum yang berlaku, dan
- bahasa persidangan.
Klausul arbitrase yang tegas akan mencegah perdebatan di kemudian hari mengenai keabsahan atau mekanisme pelaksanaan arbitrase.
- Manajemen Biaya yang Transparan
Untuk mengatasi keluhan biaya tinggi, praktisi hukum perlu membuat perkiraan anggaran sejak awal proses, termasuk biaya administrasi, arbiter, dan saksi ahli. Transparansi biaya akan membantu klien memahami gambaran pengeluaran dan membandingkan dengan keuntungan arbitrase dibanding litigasi.
- Efisiensi Proses dengan Teknologi
Dalam era digital, praktisi hukum bisa mendorong penggunaan arbitrase online atau virtual hearing, terutama dalam sengketa lintas negara. Selain menghemat biaya, penggunaan teknologi dapat mempercepat proses sidang sehingga lebih sesuai dengan prinsip efisiensi arbitrase.
- Optimalisasi Peran Arbiter yang Kompeten
Pemilihan arbiter yang tepat adalah kunci keberhasilan arbitrase. Praktisi hukum sebaiknya merekomendasikan arbiter dengan keahlian khusus sesuai bidang sengketa, misalnya perdagangan, investasi, atau konstruksi. Arbiter yang kompeten akan lebih memahami substansi perkara sehingga mengurangi risiko putusan yang tidak sesuai dengan hukum.
- Strategi Eksekusi yang Proaktif
Dalam tahap eksekusi, praktisi hukum perlu menyiapkan langkah sejak awal, seperti memastikan aset pihak lawan teridentifikasi dengan jelas. Jika pihak yang kalah berusaha menghindari eksekusi, praktisi bisa segera menggunakan mekanisme pengadilan sesuai Pasal 59. Untuk sengketa internasional, konvensi seperti New York Convention 1958 juga bisa dijadikan dasar pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.
Sedang menangani sengketa arbitrase atau butuh akses cepat ke regulasi dan putusan terbaru? Legal Hero hadir sebagai database hukum dan putusan yang didukung AI, memudahkan praktisi hukum melakukan riset, menemukan referensi hukum, dan menyiapkan strategi beracara dengan lebih efisien.
