Terbitnya SK Kehutanan No. 36/2025 membawa implikasi besar, khususnya bagi perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan atau wilayah dengan status tata ruang yang tumpang tindih. Keputusan ini bukan hanya persoalan administratif, melainkan juga menyangkut legalitas izin usaha, keberlanjutan bisnis, serta kepatuhan perusahaan terhadap regulasi kehutanan dan lingkungan hidup.
Lalu, apa saja isi pokok dalam SK tersebut, dan bagaimana dampaknya terhadap perusahaan sawit? Artikel ini akan membahas poin penting dari SK Kehutanan No. 36/2025 serta potensi risiko maupun peluang yang timbul bagi pelaku usaha.
Isi Pokok SK Kehutanan No. 36/2025
Berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, keputusan menteri di bidang kehutanan biasanya berisi ketentuan teknis mengenai pengelolaan kawasan hutan. Adapun SK Kehutanan No. 36/2025 memuat beberapa hal pokok yang relevan bagi sektor perkebunan:
1. Penetapan dan Penegasan Kawasan Hutan
SK ini memperbarui peta kawasan hutan, termasuk batas-batas yang bersinggungan dengan area perkebunan sawit. Perubahan tata batas dapat berimplikasi langsung pada status legal lahan yang sebelumnya digunakan perusahaan.
2. Pengaturan Perizinan Berbasis Kawasan
SK menegaskan kembali bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan, termasuk perkebunan sawit, wajib melalui mekanisme perizinan berusaha. Hal ini sejalan dengan Pasal 36 UU Kehutanan yang mengatur izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
3. Kewajiban Pemulihan dan Pengelolaan Lingkungan
SK juga menekankan kewajiban perusahaan yang telah atau sedang menggunakan kawasan hutan untuk memenuhi standar pengelolaan lingkungan, termasuk reklamasi dan rehabilitasi. Ketentuan ini memperkuat prinsip keberlanjutan dalam industri sawit.
Dampaknya terhadap Perusahaan Sawit
Bagi perusahaan sawit, SK Kehutanan No. 36/2025 tidak hanya menambah beban regulasi, tetapi juga memunculkan konsekuensi strategis yang perlu diantisipasi:
1. Legalitas Lahan Menjadi Sorotan
Perubahan tata batas kawasan hutan bisa menyebabkan sebagian lahan perkebunan masuk dalam area hutan negara. Tanpa izin yang sesuai, perusahaan berpotensi dianggap melakukan kegiatan ilegal dengan ancaman sanksi administratif, perdata, bahkan pidana.
2. Kewajiban Perizinan Lebih Ketat
Perusahaan yang sebelumnya beroperasi tanpa IPPKH kini harus menyesuaikan diri. Proses pengajuan izin dapat memakan waktu dan biaya tambahan, sehingga perlu dimasukkan dalam perencanaan bisnis.
3. Tekanan dari Aspek Lingkungan dan Sosial
SK ini memperkuat posisi pemerintah dalam menuntut pemulihan lingkungan. Selain itu, perusahaan juga akan menghadapi peningkatan sorotan dari masyarakat sipil dan NGO terkait praktik keberlanjutan.
4. Peluang untuk Perusahaan yang Patuh
Meski terlihat sebagai beban, SK ini dapat menjadi peluang bagi perusahaan yang sudah patuh pada regulasi dan standar keberlanjutan. Kepatuhan dapat meningkatkan reputasi, mempermudah akses pendanaan hijau, serta memperluas pasar ekspor.
Butuh Pendampingan Hukum?
SK Kehutanan No. 36/2025 menjadi regulasi kunci yang akan memengaruhi peta bisnis sawit di Indonesia. Perusahaan sawit harus mencermati isi pokok keputusan ini dan menyiapkan strategi agar tetap beroperasi sesuai hukum, sekaligus menjaga keberlanjutan bisnis jangka panjang.
Butuh panduan hukum yang tepat untuk perusahaan Anda? Hukumku hadir sebagai layanan konsultasi hukum dengan mitra advokat profesional yang berpengalaman di bidang korporasi, lingkungan, dan kehutanan.