Dalam banyak sengketa bisnis, batas antara perusahaan dan pemiliknya sering kali kabur—baik dalam persepsi publik maupun dalam praktik sehari-hari. Padahal, pemisahan itu bukan sekadar formalitas administratif, melainkan prinsip hukum yang menentukan siapa yang benar-benar bertanggung jawab secara hukum ketika sebuah perusahaan beroperasi, gagal bayar, atau digugat.
Artikel ini menyoroti prinsip separate legal entity dalam sistem hukum Indonesia, sebuah fondasi yang membentuk struktur tanggung jawab, hak, dan perlindungan hukum dalam badan usaha berbentuk perseroan terbatas.
Konsep Prinsip Separate Legal Entity
Separate legal entity merupakan salah satu pilar utama dalam hukum korporasi yang menyatakan bahwa sebuah perseroan memiliki kedudukan hukum yang terpisah dari pendirinya maupun dari pemegang saham.
Artinya perusahaan dianggap sebagai subjek hukum yang berdiri sendiri dan dapat bertindak atas nama mereka sendiri dihadapan hukum seperti kemampuan untuk memiliki aset, menandatangani kontrak, digugat dan menggugat di pengadilan, serta hak dan tanggung jawab hukum lainnya.
Tonggak dari prinsip ini berasal dari perkara Salomon v. A Salomon & Co Ltd (1897), yang menegaskan bahwa setelah didirikan secara sah, sebuah perusahaan memiliki eksistensi hukum yang terpisah bahkan dari pemilik tunggalnya. Prinsip ini kemudian diadopsi dalam berbagai sistem hukum termasuk Indonesia, dan menjadi dasar pengembangan model usaha modern yang memungkinkan investor menanamkan modal dengan risiko yang terukur.
Di Indonesia sendiri ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) yang menyebut bahwa perseroan adalah badan hukum. Ini berarti, sejak memperoleh status badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, entitas tersebut diakui sebagai pihak yang dapat menjalankan tindakan hukum sendiri, bukan sekadar perpanjangan tangan dari pemilik modal.
Tanggung Jawab Hukum dan Perlindungan Pemegang Saham
Salah satu konsekuensi paling krusial dari prinsip separate legal entity adalah munculnya doktrin tanggung jawab terbatas bagi pemegang saham. Artinya, meskipun mereka adalah pemilik perusahaan, para pemegang saham tidak secara pribadi bertanggung jawab atas utang atau kewajiban hukum perusahaan. Risiko mereka dibatasi hanya sebesar nilai saham yang dimiliki sehingga hal ini memberikan perlindungan hukum dan menjadi insentif utama bagi berkembangnya investasi di korporasi.
Dalam praktiknya, status badan hukum pada perseroan memungkinkan adanya pemisahan mutlak antara harta perusahaan dan harta pribadi pemegang saham. Ketika perusahaan terlibat sengketa hukum, mengalami kebangkrutan, atau digugat karena wanprestasi, kreditor hanya dapat menagih melalui aset milik perseroan, bukan mengejar kekayaan pribadi investor. Inilah perbedaan mendasar antara perseroan terbatas (PT) dengan bentuk usaha non-badan hukum seperti firma dan CV, di mana tanggung jawab pribadi masih melekat pada para pendiri atau pemilik usaha.
Namun, perlindungan ini tidak bersifat absolut. Dalam kondisi tertentu, hukum dapat “menerobos” batas pemisahan entitas hukum tersebut, terutama jika terbukti terjadi penyalahgunaan badan hukum, misalnya untuk melakukan penipuan, mengalihkan aset secara curang, atau menghindari tanggung jawab hukum.
Doktrin ini dikenal sebagai piercing the corporate veil, di mana pengadilan dapat memutuskan bahwa pemegang saham atau direksi harus ikut bertanggung jawab secara pribadi. Dengan demikian pemegang saham tidak hanya dilindungi dari risiko, tetapi juga tetap dituntut untuk tetap bertindak dalam koridor hukum.
Konsultasikan Masalah Hukum Anda ke Hukumku!
Untuk membantu Anda merancang dan menjalankan badan usaha yang sesuai regulasi, Hukumku hadir sebagai mitra terpercaya untuk menyediakan layanan hukum korporasidan konsultasi dokumen hukum bisnis yang praktis dan mudah diakses.