Ketika pihak-pihak yang bersengketa memilih arbitrase sebagai jalur penyelesaian sengketa mereka, para pihak menentukan sendiri siapa yang akan memberikan putusan akhir kepada sengketa tersebut, berbeda dengan litigasi di pengadilan di mana hakim ditunjuk oleh negara. Tanpa sistem banding, pengawasan publik, dan ruang sidang yang tertutup, faktor paling krusial dalam menjaga legitimasi proses arbitrase adalah kepercayaan terhadap integritas para arbitrator.
Karena itu, prinsip Independence, Impartiality, dan Disclosure menjadi dasar agar putusan arbitrase tidak hanya sah secara hukum, tapi juga adil secara substansial. Artikel ini membahas bagaimana prinsip tersebut dijalankan dalam praktik, batas-batasnya, serta konsekuensinya jika dilanggar.
Prinsip Independence, Impartiality, dan Disclosure
Dua prinsip utama yang menopang kredibilitas ini adalah Independence (independensi) dan impartiality (imparsialitas), yang keduanya diperkuat oleh kewajiban disclosure (keterbukaan). Ketiganya saling terkait dan memainkan peran penting dalam memastikan putusan arbitrase dihasilkan secara adil serta bebas dari konflik kepentingan.
Independence
Prinsip ini mengacu pada hubungan objektif antara arbitrator dan salah satu pihak atau wakilnya. Dalam konteks ini, yang dinilai bukan persepsi, melainkan fakta konkret yang menimbulkan hubungan yang tidak sesuai dengan etika arbitrase, seperti relasi keluarga dekat, hubungan profesional (kolega, mitra bisnis, atau mantan karyawan). Jika hubungan seperti ini ada, maka secara hukum arbitrator dianggap tidak independen. Oleh karena itu, independensi merupakan tugas hukum (statutory duty) yang wajib dipenuhi sejak awal penunjukan.
Impartiality
Berbeda dengan independensi yang bersifat objektif, imparsialitas lebih bersifat subjektif, yaitu menyangkut apakah arbitrator menyimpan prasangka atau keberpihakan terhadap salah satu pihak. Ini bisa berasal dari pengalaman pribadi arbitrator dengan sengketa yang serupa, atau dari preferensi pribadi yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan. Imparsialitas juga merupakan kewajiban hukum, dan pelanggarannya dapat menimbulkan dasar untuk membatalkan putusan arbitrase.
Disclosure
Disclosure adalah kewajiban untuk mengungkap informasi apa pun yang dapat menimbulkan dugaan ketidaknetralan, termasuk hubungan profesional atau pribadi masa lalu. Walaupun di Indonesia keterbukaan belum dianggap wajib secara eksplisit dalam undang-undang, ia diakui secara luas sebagai bagian esensial dari pembuktian independensi dan imparsialitas arbitrator. Dalam kasus seperti Halliburton v Chubb, pengadilan menekankan bahwa kegagalan mengungkap informasi relevan dapat menciptakan justifiable doubts dan membuka ruang pembatalan putusan.
Lalu, bagaimana menilai apakah sebuah kondisi cukup serius untuk memengaruhi netralitas seorang arbitrator? Dalam hal ini IBA Guidelines on Conflicts of Interest in International Arbitration menjadi rujukan penting untuk menilai potensi konflik kepentingan arbitrator.
Panduan tersebut membagi situasi ke dalam empat kategori, mulai dari Non-Waivable Red List yang mencakup konflik berat seperti arbitrator adalah karyawan salah satu pihak, Waivable Red List yang meliputi konflik serius yang masih dapat diterima jika disetujui secara tertulis, Orange List yang memuat situasi yang harus diungkap karena dapat menimbulkan keraguan, dan Green List yang dianggap tidak bermasalah dan tidak perlu diungkap.
Pelanggaran Prinsip Arbitrator dan Implikasinya terhadap Validitas Arbitrase
Pelanggaran terhadap prinsip independensi, imparsialitas, maupun keterbukaan arbitrator dapat berdampak serius pada legitimasi arbitrase. Ketika seorang arbitrator gagal memenuhi standar tersebut, pihak yang merasa dirugikan berhak mengajukan keberatan atas keterlibatan arbitrator, baik di awal maupun selama proses berlangsung.
Dalam praktiknya, pengajuan keberatan bisa dilakukan langsung kepada lembaga arbitrase atau, jika tidak disetujui, dapat dilanjutkan ke pengadilan. Di Indonesia, mekanisme pembatalan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa salah satu alasan pembatalan adalah jika “putusan diambil secara curang” atau melibatkan arbitrator yang tidak netral. Ini dikenal sebagai mekanisme annulment atau setting aside.
Kasus Halliburton v Chubb (UK Supreme Court, 2020) menjadi salah satu preseden penting secara global. Di situ, seorang arbitrator gagal mengungkap bahwa ia juga ditunjuk dalam proses arbitrase terpisah yang melibatkan salah satu pihak. Meski tidak terbukti adanya bias, pengadilan menekankan bahwa kegagalan untuk mengungkap informasi relevan bisa menimbulkan keraguan yang wajar atas netralitas arbitrator, dan itu sudah cukup untuk merusak kepercayaan terhadap proses arbitrase.
Dalam konteks internasional, aturan seperti ICC Arbitration Rules, LCIA Rules, dan UNCITRAL Model Law juga mengatur bahwa arbitrator harus mengungkap semua potensi konflik sejak penunjukan. Jika dilanggar, pihak yang merasa dirugikan dapat meminta pemberhentian arbitrator atau pembatalan award. Oleh karena itu, menjaga prinsip ini bukan hanya soal etika, melainkan fondasi hukum agar putusan arbitrase bisa dieksekusi dan diakui.
Baca Juga: Anti-Suit Injunction dalam Arbitrase: Penerapan dan Kontroversinya
Gunakan Legal Hero untuk Solusi Riset Anda!
Kepercayaan terhadap integritas arbitrator adalah fondasi utama dalam menjaga legitimasi arbitrase. Apabila Anda sedang menghadapi proses arbitrase dan membutuhkan riset hukum yang mendalam atau analisis netralitas arbitrator, Legal Hero dari Hukumku siap menjadi mitra strategis Anda untuk mendapat akses cepat ke dokumen hukum relevan dan solusi riset yang terukur.