Dalam praktik bisnis modern, struktur pengelolaan Perseroan Terbatas (PT) tidak selalu berjalan secara formal sebagaimana tercantum dalam akta dan anggaran dasar. Tidak jarang, terdapat pihak yang tidak tercatat sebagai direksi, tetapi secara nyata mengendalikan kebijakan, keputusan strategis, bahkan operasional perusahaan. Fenomena inilah yang dikenal sebagai shadow director.
Artikel ini membahas konsep shadow director, kedudukannya dalam hukum perseroan Indonesia, serta potensi pertanggungjawaban pidananya.
Memahami Konsep Shadow Director
Istilah shadow director tidak secara eksplisit dikenal dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Namun, konsep ini berkembang dalam doktrin hukum korporasi, terutama dalam sistem common law, seperti Inggris dan Australia.
Secara sederhana, shadow director adalah pihak yang tidak diangkat secara sah sebagai direksi, tetapi instruksi atau arahannya diikuti oleh direksi formal dalam menjalankan perseroan. Dalam Companies Act 2006 (Inggris), shadow director didefinisikan sebagai orang yang “direksi perseroan terbiasa bertindak sesuai dengan arahan atau petunjuknya.”
Secara konseptual, shadow director memiliki beberapa karakteristik utama:
- Tidak tercatat sebagai direksi dalam dokumen resmi perusahaan.
- Tidak diangkat melalui RUPS atau mekanisme formal.
- Namun secara faktual mengendalikan atau mempengaruhi keputusan direksi.
- Memiliki kekuatan nyata dalam pengambilan keputusan strategis.
Dalam praktik, shadow director bisa berupa:
- Pemegang saham pengendali,
- Beneficial owner,
- Pihak afiliasi atau investor,
- Bahkan pihak eksternal yang memiliki kekuasaan ekonomi atau kontraktual.
Kedudukan Shadow Director dalam Hukum Perseroan Indonesia
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) memang secara tegas menyatakan bahwa direksi adalah organ yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan (Pasal 92). Prinsip fiduciary duty dan duty of care melekat secara langsung pada direksi formal.
Namun, hukum perseroan Indonesia sebenarnya membuka ruang untuk menembus formalitas tersebut.
Pertama, melalui konsep beneficial owner sebagaimana diatur dalam Perpres No. 13 Tahun 2018, negara mengakui bahwa pengendali sesungguhnya suatu korporasi tidak selalu berada di struktur formal.
Kedua, Pasal 3 ayat (2) UU PT tentang piercing the corporate veil memungkinkan pertanggungjawaban pribadi terhadap pihak yang menyalahgunakan perseroan sebagai alat untuk perbuatan melawan hukum.
Apakah Shadow Director Bisa Dipidana?
- Dasar Pertanggungjawaban Pidana
Secara normatif, hukum pidana Indonesia tidak mensyaratkan jabatan formal untuk memidana seseorang. Yang menjadi fokus utama adalah perbuatan (actus reus) dan kesalahan (mens rea). Prinsip ini sejalan dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).
Baca Juga: Mens Rea dan Actus Reus: Dualitas dalam Pembuktian Tindak Pidana
Shadow director dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila:
- Terbukti memberikan perintah, arahan, atau pengaruh dominan;
- Memiliki kontrol efektif terhadap tindakan direksi;
- Perbuatannya memenuhi unsur penyertaan pidana.
Dalam kerangka KUHP, hal ini dapat dikualifikasikan sebagai:
- Pasal 20 (b) KUHP (menyuruh melakukan);
- Pasal 20 (c) KUHP (turut serta melakukan).
Selain itu, Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi secara eksplisit mengakui pertanggungjawaban pidana bagi pihak yang memiliki kendali dan pengaruh terhadap korporasi, meskipun tidak menjabat secara formal.
- Relevansi dalam Kejahatan Korporasi
Dalam perkara korupsi, UU Tipikor tidak membatasi pelaku hanya pada pejabat struktural, melainkan siapa pun yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Dalam TPPU, UU No. 8 Tahun 2010 memungkinkan penelusuran terhadap beneficial owner sebagai pihak yang menikmati hasil kejahatan.
Di sektor perbankan dan pasar modal, figur “pengendali bayangan” justru sering menjadi aktor utama di balik pelanggaran serius.
Navigasi Risiko Pidana Korporasi Anda dengan Legal Hero
Untuk membantu Anda menavigasi kompleksitas pertanggungjawaban pidana korporasi, Legal Hero hadir sebagai platform riset hukum berbasis AI yang dirancang khusus untuk kebutuhan para praktisi hukum. Mulai dari penelusuran yurisprudensi hingga analisis risiko pidana berbasis regulasi terkini, Legal Hero membantu Anda menyusun strategi hukum secara presisi, cepat, dan komprehensif.
