Istilah “hak” kerap digunakan untuk menilai sah atau tidaknya suatu tindakan, keputusan, atau kebijakan. Namun, tidak semua klaim atas nama “hak” memiliki bobot hukum yang sama. Sebagian hak bersifat mengikat secara hukum, sementara lainnya masih berupa klaim retoris dalam ruang publik.
Artikel ini mengulas dua pendekatan utama: hak sebagai truf dan hak sebagai retorika, serta bagaimana membedakannya dalam praktik hukum di Indonesia.
Pengertian Hak sebagai Truf dalam Hukum
Apa Itu Hak sebagai Truf?
Hak sebagai truf dipahami sebagai klaim hukum normatif yang tidak bisa dikalahkan oleh pertimbangan praktis, seperti efisiensi atau kepentingan mayoritas. Dalam pendekatan ini, hak bersifat absolut dan menjadi batas kekuasaan negara.
Ciri-Ciri Hak sebagai Truf:
- Diakui secara eksplisit dalam konstitusi atau undang-undang.
- Tidak dapat dikompromikan demi alasan kebijakan.
- Memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dapat ditegakkan.
- Berfungsi sebagai proteksi terhadap individu dari penyalahgunaan kekuasaan.
Contoh Penerapan:
- Hak atas kebebasan berpendapat, yang tidak dapat dilarang hanya karena dianggap tidak populer.
- Hak atas kesetaraan di hadapan hukum, yang harus dijaga meskipun bertentangan dengan kepentingan mayoritas.
- Hak-hak ini kerap dijadikan dasar pengujian konstitusionalitas suatu aturan oleh Mahkamah Konstitusi.
Konsep Hak sebagai Retorika dalam Wacana Hukum
Apa Itu Hak sebagai Retorika?
Berbeda dari pendekatan normatif, hak sebagai retorika digunakan sebagai alat argumentasi sosial atau politik. Istilah “hak” dipakai untuk memperkuat klaim, walaupun belum tentu diakui secara formal dalam sistem hukum.
Ciri-Ciri Hak sebagai Retorika:
- Digunakan dalam debat publik atau advokasi.
- Belum tentu memiliki dasar hukum positif.
- Menarik simpati atau dukungan moral.
- Belum dapat langsung ditegakkan melalui pengadilan.
Contoh Penerapan:
- Klaim “hak atas pekerjaan layak” dalam diskusi politik, meskipun belum memiliki implementasi hukum yang jelas.
- Seruan masyarakat sipil untuk “hak atas lingkungan hidup yang sehat” sebelum diakomodasi dalam peraturan.
Baca Juga: Asas Proporsionalitas dalam Pembatasan Hak Warga Negara
Meskipun bersifat retoris, pendekatan ini kerap memicu perubahan hukum. Banyak hak yang kini diakui secara formal, dulunya hanya diajukan melalui gerakan sosial dan kampanye publik.
Perbedaan Hak Sebagai Truf dan Hak Sebagai Retorika
| Aspek | Hak sebagai Truf | Hak sebagai Retorika |
|---|---|---|
| Status hukum | Sudah diakui secara normatif | Belum diakui secara hukum positif |
| Daya ikat | Mengikat secara hukum dan dapat ditegakkan | Tidak mengikat secara hukum |
| Fungsi | Proteksi terhadap kekuasaan | Argumentasi atau advokasi |
| Contoh | Hak atas kebebasan beragama | Hak atas internet gratis |
Implikasi dalam Praktik Hukum
Mengapa Penting Membedakannya?
- Untuk Hakim & Pembuat Kebijakan: Salah memahami kedudukan hak dapat menimbulkan kesalahan putusan atau kebijakan yang melanggar konstitusi.
- Untuk Praktisi Hukum: Menyusun argumentasi hukum membutuhkan ketepatan dalam mengidentifikasi apakah hak yang diklaim adalah hak normatif atau hanya retoris.
- Untuk Mahasiswa Hukum: Pemahaman kritis terhadap konsep hak menjadi bekal utama dalam menyusun argumen hukum yang berbobot.
Risiko Jika Salah Memahami:
- Hak yang bersifat retoris bisa disalahgunakan untuk kepentingan sepihak.
- Hak yang bersifat normatif bisa terabaikan jika dianggap hanya sebagai opini publik.
Tips Membedakan Hak Truf vs Retorika
- Telusuri sumber hukumnya: Apakah tercantum dalam UUD, UU, atau putusan pengadilan?
- Periksa apakah dapat ditegakkan: Apakah dapat diajukan dalam gugatan atau uji materiil?
- Analisis konteks penggunaannya: Apakah digunakan dalam sidang, advokasi, atau diskusi publik?