Bagaimana seorang advokat dapat membela hak kliennya tanpa memahami asas yang melandasi seluruh proses pidana? Hukum acara pidana bukan sekadar prosedur, tetapi mekanisme untuk menyeimbangkan kepentingan negara dan hak individu.
Artikel ini akan mengulas sembilan asas utama yang menjadi pilar sistem peradilan pidana di Indonesia.
Jenis Asas Hukum Acara Pidana
Asas hukum pidana adalah prinsip dasar yang menjadi landasan pembentukan, penafsiran, dan penerapan hukum pidana dalam sistem peradilan. Asas ini memberikan arah dan batasan bagaimana negara dapat menggunakan kekuasaan pemidanaannya terhadap individu, serta melindungi hak-hak warga negara agar tidak sewenang-wenang.
Asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Lege)
Asas Legalitas bermakna “tidak ada perbuatan yang dapat dipidana tanpa dasar hukum”. Prinsip ini menjamin bahwa seseorang hanya dapat dipidana jika perbuatannya telah diatur dalam undang-undang sebelum dilakukan.
Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menegaskan bahwa hukum pidana tidak berlaku surut dan hanya berdasarkan ketentuan tertulis. Menurut Moeljatno (Asas-Asas Hukum Pidana, 1983), asas ini melindungi warga negara dari kriminalisasi sewenang-wenang dan memastikan kepastian hukum.
Asas legalitas mencakup tiga prinsip utama:
- Lex scripta – hanya hukum tertulis yang dapat menjadi dasar pemidanaan.
- Lex praevia – hukum tidak berlaku surut.
- Lex stricta – larangan memperluas tafsir pasal pidana.
Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence)
Asas Praduga Tak Bersalah merupakan prinsip dasar dalam hukum acara pidana yang menegaskan bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, seseorang tidak boleh diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana sebelum kesalahannya terbukti secara sah dan meyakinkan di muka pengadilan.
Dasar hukum asas ini terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan ke pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya.” Prinsip yang sama juga tercermin dalam Pasal 66 KUHAP, yang menegaskan bahwa terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan menegaskan bahwa proses hukum harus dilakukan secara efisien, tidak berbelit, dan terjangkau bagi para pencari keadilan. Tujuannya adalah agar keadilan dapat diperoleh tanpa mengorbankan waktu, tenaga, maupun biaya yang berlebihan.
Baca Juga: Peran Asas Non-Retroaktif dalam Pembelaan Klien
Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa peradilan harus dilaksanakan “secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.” Menurut Sudikno Mertokusumo, asas ini memastikan peradilan tidak kehilangan makna keadilannya karena proses yang terlalu lama.
Asas Audi Et Alteram Partem (Hak untuk Didengar)
Asas Audi Et Alteram Partem, yang berarti “dengarkan juga pihak lainnya,” merupakan prinsip fundamental dalam proses peradilan yang menjamin setiap pihak berhak menyampaikan pendapat, pembelaan, dan bukti sebelum hakim menjatuhkan putusan. Asas ini menjadi dasar bagi tegaknya keadilan yang imparsial dan seimbang antara pihak penuntut dan pihak pembela.
Dalam konteks hukum Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 50-52 KUHAP, yang mengatur hak-hak tersangka dan terdakwa untuk memberikan keterangan dan melakukan pembelaan. Asas ini juga sejalan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa hakim wajib menggali dan menegakkan nilai-nilai keadilan.
Asas Non Self-Incrimination (Hak untuk Tidak Menyalahkan Diri Sendiri)
Asas Non Self-Incrimination menjamin bahwa seseorang tidak boleh dipaksa mengakui kesalahannya atau memberikan keterangan yang memberatkan dirinya sendiri. Prinsip ini melindungi hak asasi tersangka agar proses hukum berjalan adil dan bebas dari tekanan.
Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 175 KUHAP serta Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR yang diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Menurut Andi Hamzah (Hukum Acara Pidana Indonesia, 2008), asas ini memastikan pengakuan hanya sah bila diberikan secara sukarela, bukan karena paksaan.
Asas Equality Before the Law (Persamaan di Hadapan Hukum)
Asas Equality Before the Law menegaskan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum tanpa pengecualian. Prinsip ini menjamin keadilan dan mencegah diskriminasi dalam proses penegakan hukum.
Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan hakim memperlakukan semua pihak secara adil. Selain itu, asas ini juga diperkuat dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan hakim memperlakukan semua pihak secara adil tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial, ekonomi, atau jabatan. Menurut Satjipto Rahardjo (Hukum dan Masyarakat, 2000), kesetaraan hukum tidak hanya bersifat formal, tetapi juga harus menjamin keadilan substantif, terutama bagi pihak yang lemah.
Asas Oportunitas
Asas oportunitas memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan atau tidak melanjutkan penuntutan perkara pidana apabila dianggap tidak bermanfaat bagi kepentingan umum. Prinsip ini memungkinkan penegakan hukum dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan sosial, politik, dan kemanusiaan.
Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 35 huruf c UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI, yang memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk “mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.” Menurut M. Yahya Harahap (Pembahasan dan Penerapan KUHAP, 2016), asas ini merupakan bentuk keadilan restoratif, di mana hukum dijalankan bukan sekadar menghukum, tetapi juga memulihkan keseimbangan dan ketertiban masyarakat.
Asas Keterbukaan (Transparansi dalam Peradilan)
Asas Keterbukaan menjamin bahwa proses peradilan dapat diakses dan diawasi publik, guna memastikan keadilan berjalan secara jujur dan akuntabel. Prinsip ini membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan mendorong hakim bertindak profesional.
Dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa “sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.” Prinsip serupa juga diatur dalam Pasal 64 KUHAP, yang menjamin hak masyarakat untuk menghadiri persidangan. Menurut Jimly Asshiddiqie (Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, 2006), asas keterbukaan merupakan ciri peradilan yang demokratis dan berintegritas.
Asas In Dubio Pro Reo (Keraguan diartikan untuk Terdakwa)
Asas In Dubio Pro Reo berarti “dalam keraguan, berpihaklah pada terdakwa.” Prinsip ini mengajarkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana jika masih ada keraguan yang beralasan terhadap kesalahan terdakwa. Dengan kata lain, setiap keraguan dalam pembuktian harus diartikan untuk kepentingan terdakwa, bukan untuk menghukumnya.
Dasar hukum asas ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa hakim hanya dapat menjatuhkan pidana jika terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan bahwa terdakwa benar-benar bersalah. Jika keyakinan itu tidak terbentuk secara penuh, maka terdakwa harus dibebaskan sesuai Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
Baca Juga: Memahami Asas Hukum Pidana dalam KUHAP Baru
Pertajam Riset Hukum Anda dengan Legal Hero
Melalui Legal Hero, advokat dapat menelusuri sumber hukum dengan lebih cepat dan cermat, memastikan bahwa setiap pembelaan tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga berakar pada nilai keadilan yang sesungguhnya. Untuk informasi selengkapnya, kunjungi link berikut ini.
