Platform Riset Hukum Berbasis AI
Asas lex favor reo hadir sebagai wujud perlindungan terhadap hak asasi terdakwa di tengah kekuasaan negara yang besar. Prinsip ini menegaskan bahwa perubahan hukum seharusnya tidak menjerat, melainkan memberi keadilan yang manusiawi.
Artikel ini akan membahas makna, landasan, dan penerapan asas lex favor reo dalam sistem hukum pidana Indonesia
Makna dan Landasan Asas Lex Favor Reo
Secara etimologis, istilah lex favor reo berasal dari bahasa Latin:
- Lex berarti “hukum,”
- Favor berarti “menguntungkan,”
- Reo berarti “terdakwa.”
Dengan demikian, secara harfiah lex favor reo berarti “hukum yang menguntungkan bagi terdakwa.”
Asas ini tertuang secara eksplisit dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
“Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka terhadap terdakwa diberlakukan ketentuan yang paling ringan.”
Ketentuan ini memperlihatkan bahwa hukum pidana Indonesia mengakui fleksibilitas hukum dalam rangka menjamin keadilan. Prinsipnya, apabila ada perubahan aturan yang lebih ringan bagi terdakwa, maka aturan tersebutlah yang digunakan bukan yang lebih berat.
Selain itu, asas ini juga sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.”
Dari sudut doktrin, Moeljatno dalam Asas-Asas Hukum Pidana (1985) menegaskan bahwa asas ini berfungsi sebagai “rem” terhadap kekuasaan negara, agar hukum tidak menjadi alat represi, melainkan instrumen keadilan.
Baca Juga: Memahami Asas Hukum Pidana dalam KUHP Baru
Tantangan dan Batasan dalam Penerapan Asas Lex Favor Reo
- Berlaku Hanya untuk Hukum Pidana Materiil
Asas lex favor reo tidak berlaku untuk hukum acara pidana (formil), melainkan hanya untuk hukum pidana materiil yang berkaitan dengan definisi delik, unsur pidana, dan ancaman sanksi.
Menurut Prof. Andi Hamzah dalam Hukum Pidana Indonesia (2008), asas ini tidak bisa digunakan untuk menolak penerapan prosedur hukum baru, seperti perubahan dalam tata cara penyidikan, penuntutan, atau pembuktian. Artinya, hanya perubahan dalam “isi” hukum pidana misalnya ancaman pidana yang lebih ringan yang dapat dijadikan dasar penerapan asas ini.
- Diterapkan Hanya Sebelum Putusan Berkekuatan Hukum Tetap (Inkracht)
Asas ini hanya dapat diberlakukan selama proses hukum masih berlangsung, yakni sebelum perkara memperoleh kekuatan hukum tetap. Moeljatno dalam Asas-Asas Hukum Pidana (1985) menjelaskan bahwa asas lex favor reo dimaksudkan untuk mencegah ketidakadilan bagi terdakwa akibat perubahan hukum di tengah proses peradilan. Namun, jika putusan sudah inkracht, maka tidak ada dasar untuk mengubahnya meskipun ada hukum baru yang lebih ringan. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum.
- Tidak Boleh Bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum (Lex Certa)
Salah satu kritik terhadap asas lex favor reo adalah potensi mengaburkan kepastian hukum.
Perdebatan sering muncul dalam menentukan “hukum mana yang lebih menguntungkan” bagi terdakwa terutama jika perubahannya tidak eksplisit mengatur pengurangan pidana.
Misalnya, dalam perkara narkotika, revisi batas minimal pidana sering menimbulkan tafsir berbeda antara penuntut umum dan penasihat hukum. Dalam konteks ini, hakim harus berhati-hati menilai substansi perubahan, bukan hanya teks hukumnya.
- Pengecualian terhadap Asas Non-Retroaktif
Pada dasarnya, hukum pidana tidak berlaku surut (non-retroaktif), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Namun, asas lex favor reo menjadi pengecualian terbatas terhadap prinsip tersebut. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 013/PUU-I/2003 menegaskan bahwa penerapan hukum secara retroaktif diperbolehkan jika menguntungkan terdakwa. Hal ini tidak dianggap melanggar hak asasi manusia, melainkan memperkuat perlindungan terhadap terdakwa. Dengan demikian, asas ini menyeimbangkan antara keadilan substantif dan prinsip legalitas.
- Tantangan dalam Penerapan pada Undang-Undang Sektoral
Perubahan dalam undang-undang sektoral (seperti UU Narkotika, UU Tipikor, atau UU ITE) sering kali memunculkan dilema penerapan lex favor reo. Misalnya, revisi undang-undang yang mengubah unsur delik atau memperluas cakupan pidana menimbulkan pertanyaan: apakah perubahan tersebut termasuk “ketentuan yang lebih ringan”?
Sebagian hakim berpendapat bahwa jika perubahan mempersempit ruang kriminalisasi, maka lex favor reo berlaku. Namun, jika perubahan hanya bersifat administratif, asas ini tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, advokat harus jeli menganalisis konteks perubahan untuk menilai apakah benar berdampak menguntungkan bagi klien.
Baca Juga: Tiga Asas Penting dalam Hukum: Memahami Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior
Perdalam Riset Hukum Anda dengan Legal Hero!
Sebagai pendamping strategis dalam dunia hukum modern, Legal Hero hadir untuk menjawab kebutuhan itu. Dengan akses ke jutaan dokumen hukum, putusan pengadilan, hingga analisis hukum berbasis AI, Legal Hero membantu advokat menemukan, membandingkan, dan menafsirkan regulasi dengan ketepatan yang dibutuhkan dalam setiap perkara.
