Dalam perusahaan terbuka, transparansi dan akuntabilitas adalah fondasi utama untuk menjaga kepercayaan investor. Salah satu area yang rawan adalah transaksi afiliasi, yakni transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan dekat dengan perusahaan.
Di sinilah risiko conflict of interest sering muncul, meski tidak selalu disadari. Padahal, regulasi sudah mengaturnya secara ketat.
Apa Itu Transaksi Afiliasi?
Menurut Pasal 1 angka 3 POJK No. 42/POJK.04/2020, transaksi afiliasi adalah aktivitas atau transaksi yang dilakukan perusahaan terbuka dengan pihak afiliasi, baik itu afiliasi dari perusahaan maupun dari direksi, komisaris, pemegang saham utama, atau pengendali. Contohnya:
- Anak perusahaan memberi pinjaman ke induk perusahaan,
- Direksi menyewakan properti pribadinya ke perusahaan, atau
- Perusahaan membeli barang/jasa dari bisnis milik keluarga pemegang saham pengendali.
Hubungan yang tidak netral antara pihak-pihak terkait membuat keputusan bisnis berpotensi menguntungkan afiliasi lebih dari perusahaan, sehingga risiko kerugian dan benturan kepentingan cukup besar.
Dasar Hukum Transaksi Afiliasi
Sebenarnya, Indonesia telah memiliki aturan khusus mengenai transaksi afiliasi dan benturan kepentingan pada perusahaan terbuka, di antaranya:
- POJK No. 42/POJK.04/2020 – mengatur kewajiban keterbukaan informasi, persetujuan pemegang saham independen, hingga keterlibatan penilai independen.
- UUPT No. 40/2007 – menegaskan bahwa direksi dan komisaris wajib menghindari benturan kepentingan, serta tidak boleh menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi maupun pihak terdekat.
Karena itu, transaksi afiliasi harus diperlakukan dengan lebih hati-hati dibanding transaksi biasa. Mengabaikannya dapat berdampak langsung pada stabilitas dan reputasi perusahaan.
Konflik Kepentingan dalam Transaksi Afiliasi
Tetapi dalam praktiknya, transaksi afiliasi sering dianggap wajar, apalagi jika masih dalam lingkup grup usaha. Namun di balik kewajaran itu, sebenarnya terdapat potensi benturan kepentingan yang kerap luput dari perhatian. Misalnya:
- Pinjaman kepada perusahaan afiliasi dengan bunga di bawah standar pasar,
- Pembelian aset dari pihak terafiliasi tanpa penilaian wajar independen, atau
- Penggunaan vendor milik kerabat komisaris tanpa tender terbuka.
Sekilas, hal-hal tersebut tampak seperti kerja sama bisnis biasa. Namun, dari sisi regulasi, transaksi ini dapat dikategorikan sebagai benturan kepentingan. Jika tidak dilakukan melalui mekanisme yang benar, perusahaan berpotensi melanggar aturan yang berlaku.
Mekanisme Pengawasan dan Persetujuan Transaksi Afiliasi
Jadi, untuk memastikan transaksi afiliasi berjalan adil dan transparan, perusahaan terbuka biasanya menerapkan mekanisme pengawasan berikut:
1. Keterbukaan Informasi
Perusahaan wajib mengungkapkan semua transaksi afiliasi kepada pemegang saham dan publik. Tujuannya agar semua pihak mengetahui transaksi yang dilakukan dan tidak ada keputusan yang disembunyikan, sehingga transparansi terjaga.
2. Persetujuan Pemegang Saham Independen
Setiap transaksi yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham independen. Langkah ini memastikan keputusan bisnis tetap objektif dan tidak hanya menguntungkan pihak terkait.
3. Penilaian Independen
Dalam beberapa transaksi, perusahaan dapat melibatkan penilai independen untuk menilai kewajaran harga atau nilai transaksi. Hal ini membantu memastikan transaksi dilakukan secara adil dan sesuai prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
4. Pengawasan Berkelanjutan
Selain langkah-langkah awal, perusahaan juga perlu melakukan pengawasan secara berkelanjutan terhadap transaksi afiliasi. Hal ini berguna untuk memantau kepatuhan, mengevaluasi risiko yang muncul, dan memastikan bahwa prosedur yang telah ditetapkan dijalankan dengan konsisten.
Dengan mekanisme ini, perusahaan dapat meminimalkan risiko benturan kepentingan sekaligus menjaga reputasi dan kepercayaan investor.
Risiko Jika Aturan Dilanggar
Lalu, apa yang terjadi jika perusahaan secara sadar maupun tidak sadar melanggar aturan terkait transaksi afiliasi? Pelanggaran tersebut dapat menimbulkan konsekuensi serius, antara lain:
- Sanksi administratif dari OJK, mulai dari peringatan tertulis, denda, hingga pembatasan usaha,
- Tuntutan hukum dari pemegang saham independen yang merasa dirugikan,
- Reputasi perusahaan tercoreng, yang dapat menurunkan kepercayaan investor dan harga saham.
Risiko-risiko ini bukan hanya soal formalitas, tetapi bisa mengancam keberlangsungan perusahaan itu sendiri.
Kesimpulan
Agar terhindar dari sanksi hukum maupun kerugian reputasi, perusahaan perlu memastikan setiap transaksi afiliasi dijalankan sesuai regulasi. Solusi terbaik adalah melibatkan konsultan hukum sejak tahap awal.
Jangan biarkan satu transaksi afiliasi berisiko merugikan bisnis Anda. Lindungi perusahaan bersama mitra advokat Hukumku, konsultasikan rencana transaksi Anda sekarang!
