Nama eFishery sempat menjadi kebanggaan Indonesia karena berhasil menyandang status unicorn di sektor agritech. Namun, citra positif itu runtuh setelah muncul dua kasus besar, yaitu pemalsuan laporan keuangan dan dugaan manipulasi transaksi dalam akuisisi CV.
Kasus ini bukan sekadar masalah bisnis, tetapi menyangkut dugaan penipuan, penggelapan, hingga pencucian uang (TPPU). Dari sini, kita bisa belajar bahwa proses akuisisi tentu harus mengikuti prosedur yang taat hukum.
Proses Akuisisi CV yang Melanggar Hukum
Mantan CEO eFishery, Gibran Huzaifah, resmi ditahan Bareskrim Polri pada 31 Juli 2025. Penahanan ini terkait dugaan penggelapan dana dalam proses akuisisi sebuah perusahaan teknologi.
Pada Maret 2024, PT Multidaya Nusantara Teknologi (MTN), induk usaha eFishery, mengakuisisi DycodeX, startup berbasis Bandung yang bergerak di bidang kecerdasan buatan (AI) dan internet-of-things (IoT). Namun, alih-alih membeli saham PT, MTN justru mengakuisisi aset dan kewajiban sejumlah CV yang terafiliasi dengan DycodeX. Audit independen FTI Consulting menemukan MTN membayar Rp 15 miliar kepada empat CV berikut:
- CV Dycode Cominfotech Development
- CV Dycode Software Solution
- CV DycodeX Technology
- CV DycodeX Robotics
Dilansir dari tirto.id, sekitar Rp 5 miliar diduga mengalir ke pihak tak teridentifikasi melalui transfer berlapis.
Temuan ini menimbulkan dugaan bahwa nilai transaksi dimanipulasi untuk memperbesar harga akuisisi sekaligus mengalihkan dana ke pihak tertentu di luar kesepakatan resmi. Praktik semacam ini berisiko melanggar ketentuan pidana terkait penggelapan, penipuan, hingga TPPU.
Akuisisi CV Lebih Berisiko daripada PT?
Dengan adanya kasus ini, banyak pihak yang terbuka matanya tentang risiko akuisisi CV yang lebih besar dibandingkan PT. Jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa alasan mengapa akuisisi CV dinilai jauh lebih berisiko, antara lain:
Baca Juga: Memahami Kelebihan dan Kekurangan CV dalam Dunia Bisnis
1. Sisi Status Hukum
Perseroan Terbatas (PT) diakui sebagai badan hukum, sehingga memiliki kepribadian hukum yang terpisah dari pemiliknya. Artinya, aset dan kewajiban PT berdiri sendiri, tidak tercampur dengan kekayaan pribadi pemegang saham.
Sebaliknya, CV bukanlah badan hukum. Semua aset, utang, maupun kewajiban menempel langsung pada sekutu, terutama sekutu aktif. Inilah yang membuat posisi hukum CV jauh lebih rentan.
2. Tanggung Jawab Pemilik
Dalam PT, risiko setiap pemegang saham hanya sebatas modal yang ia tanamkan. Jika PT memiliki utang besar, tanggung jawab pribadi pemegang saham tidak ikut terseret. Berbeda dengan CV, sekutu aktif bisa diminta menanggung utang hingga ke harta pribadinya. Konsekuensinya, risiko finansial dalam akuisisi CV jauh lebih berat.
3. Mekanisme Akuisisi yang Berbeda
Pada PT, proses akuisisi biasanya dilakukan lewat pembelian saham. Semua perubahan tercatat resmi di Kemenkumham dan memiliki bukti hukum yang jelas. Sementara itu, CV tidak memiliki saham.
Akuisisi hanya bisa dilakukan dengan mengambil alih aset, kontrak, atau mengganti sekutunya. Proses ini memang lebih sederhana, tapi celah manipulasi sangat besar karena tidak ada mekanisme pencatatan resmi di level negara.
4. Persoalan Due Diligence
Dalam PT, pemeriksaan legal dan finansial lebih mudah karena semua saham, aset, dan izin usaha tercatat dengan baik. Sebaliknya, di CV banyak aset atau kontrak justru tercatat atas nama pribadi sekutu.
Hal ini membuat proses due diligence jadi lebih rumit dan berisiko memunculkan sengketa, bahkan membuka peluang terjadinya penggelembungan nilai aset.
5. Transparansi dan Pengawasan
PT memiliki sistem pengawasan formal melalui direksi, komisaris, dan juga pemegang saham. Selain itu, PT diawasi oleh regulator, sehingga setiap keputusan besar memiliki prosedur kontrol.
Berbeda dengan CV yang umumnya hanya bergantung pada sekutu aktif tanpa adanya mekanisme pengawasan formal. Akibatnya, ruang penyalahgunaan kewenangan menjadi jauh lebih besar.
Karena itu, meski akuisisi CV terlihat lebih cepat dan fleksibel, risiko hukum maupun finansial yang menyertainya justru jauh lebih tinggi dibandingkan PT.
Memahami risiko ini penting agar kita bisa menilai potensi masalah yang muncul, seperti yang terlihat dalam kasus akuisisi CV oleh CEO eFishery ini, di mana dugaan manipulasi transaksi dan aliran dana yang tidak jelas menunjukkan risiko nyata yang bisa muncul saat mengambil alih CV.
Pentingnya Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
Dari kasus ini, kita tahu bahwa penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) yang lemah bisa menimbulkan risiko serius bagi perusahaan. Hal ini penting untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan independensi dalam setiap pengambilan keputusan dan pengelolaan dana.
Tanpa prinsip ini, perusahaan berpotensi mengalami manipulasi transaksi, laporan keuangan yang tidak akurat, serta konflik kepentingan yang merugikan semua pihak terkait.
UU PT (UU 40/2007 jo. UU 6/2023) menegaskan bahwa direksi wajib mengungkapkan afiliasi, menjaga independensi, dan memperoleh persetujuan formal pemegang saham. Mengabaikan hal ini dapat berakibat pada penyalahgunaan wewenang, kerugian finansial, dan bahkan tanggung jawab pidana bagi pengelola perusahaan.
Dalam praktiknya, kasus eFishery memperlihatkan bahwa lemahnya tata kelola perusahaan yang baik memungkinkan aliran dana tidak jelas dan potensi manipulasi, sehingga menekankan bahwa penerapan tata kelola yang baik adalah kunci untuk melindungi perusahaan, investor, dan seluruh pemangku kepentingan.
Tips & Pelajaran untuk Investor dan Perusahaan
Kasus akuisisi CV oleh eFishery membuktikan bahwa ekspansi bisnis tidak bisa dilakukan secara sembrono tanpa memperhatikan aspek hukum dan tata kelola. Ditambah dengan dugaan manipulasi laporan keuangan, kasus ini menjadi pelajaran keras bahwa kecepatan tidak boleh mengorbankan integritas.
Untuk memastikan langkah bisnis Anda aman, konsultasikan kebutuhan Hukum Perusahaan dan Hukum Bisnis bersama mitra advokat Hukumku. Hubungi tim Hukumku untuk mengetahui informasi lebih lanjut.
