Permasalahan hutang-piutang sering kali dianggap sebagai sengketa biasa di ranah perdata. Namun, dalam praktiknya, ada sejumlah kasus hutang-piutang yang berujung pidana. Banyak pihak bertanya-tanya, apakah berhutang dapat dipidana?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus memahami perbedaan antara ranah perdata dan pidana dalam kasus hutang-piutang.
Tim Penulis Hukumku akan memberikan pemahaman mengenai batasan mana yang menyebabkan sebuah Hutang-Piutang bisa dipidanakan.
Memahami Dasar Hukum Hutang-Piutang
Hutang-piutang di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya pada Pasal 1754 sampai dengan 1769. Menurut KUHPerdata, hutang-piutang adalah hubungan hukum berdasarkan kesepakatan antara pihak kreditur (yang memberi pinjaman) dengan debitur (yang menerima pinjaman).
Sebagai akibatnya, penyelesaian sengketa hutang-piutang umumnya dilakukan melalui proses hukum perdata karena dianggap sebagai wanprestasi atau ingkar janji.
Tidak semua sengketa hutang-piutang berakhir sebagai kasus perdata. Ada kondisi tertentu yang mengubah statusnya menjadi ranah pidana. Perbedaan utamanya adalah sebagai berikut:
- Sengketa Perdata (Wanprestasi):
- Tidak ada unsur pidana seperti penipuan atau penggelapan.
- Hanya berupa ingkar janji (misalnya terlambat membayar utang).
- Prosesnya melalui gugatan perdata, ganti rugi, atau eksekusi jaminan.
- Sengketa Pidana:
- Ada unsur tindak pidana, seperti niat buruk sejak awal, penipuan, atau penggelapan.
- Diatur dalam KUHP, khususnya Pasal 372 tentang penggelapan dan Pasal 378 tentang penipuan.
- Pelakunya bisa dikenai hukuman pidana berupa penjara.
Baca Juga: Apakah Utang Bisa Hangus Karena Lama Tidak Ditagih? Ini Jawabannya
Kapan Hutang-Piutang Menjadi Pidana?
Hutang-piutang bisa berubah menjadi kasus pidana apabila terpenuhi unsur-unsur berikut:
- Adanya Niat Jahat atau Tipu Muslihat
Jika sejak awal transaksi terdapat kebohongan atau tipu daya oleh debitur untuk mendapatkan pinjaman, maka ini termasuk penipuan (Pasal 378 KUHP). - Penggelapan Dana Pinjaman
Debitur sengaja menyalahgunakan dana pinjaman untuk tujuan lain di luar kesepakatan dengan sengaja (Pasal 372 KUHP). - Tidak Ada Itikad Baik
Jika debitur sengaja tidak mau membayar hutang dan terbukti ada unsur kesengajaan atau manipulasi, maka ini bisa dianggap pidana.
Contoh Kasus Nyata Hutang-Piutang Menjadi Pidana
Contoh kasus yang sering terjadi:
- Seorang pengusaha meminjam dana dengan janji proyek bisnis fiktif yang ternyata tidak pernah ada. Setelah menerima dana, uang tersebut digunakan untuk kebutuhan pribadi, tidak sesuai perjanjian. Setelah terbukti ada penipuan, maka kasus ini bisa masuk ranah pidana dengan tuduhan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Kasus seperti ini berakibat pidana karena unsur-unsur pidana terbukti jelas sejak awal.
Prosedur Membawa Hutang-Piutang ke Ranah Pidana
Jika Anda merasa tertipu dalam kasus hutang-piutang, berikut langkah-langkah membawanya ke ranah pidana:
- Melaporkan ke kepolisian dengan bukti kuat (perjanjian tertulis, bukti transfer, rekaman komunikasi).
- Penyidik akan memeriksa unsur-unsur pidana dalam laporan Anda.
- Bila terbukti, pelaku bisa ditetapkan sebagai tersangka, kemudian dituntut secara pidana.
Risiko Hukum dalam Membawa Hutang-Piutang ke Ranah Pidana
Membawa sengketa hutang ke pidana juga berisiko:
- Bila tuduhan tidak terbukti, pelapor dapat digugat balik atas pencemaran nama baik atau laporan palsu.
- Membawa sengketa hutang ke ranah pidana membutuhkan bukti kuat. Jika tidak, laporan Anda akan dihentikan, bahkan bisa berdampak negatif.
Kesimpulan
Hutang-piutang pada dasarnya adalah masalah perdata. Namun, jika ada unsur pidana seperti penipuan atau penggelapan, kasus hutang-piutang tersebut dapat menjadi pidana. Oleh karena itu, penting memahami dengan jelas batasan dan ketentuan hukumnya.
Jika Anda merasa dirugikan dalam transaksi hutang-piutang dan mempertimbangkan langkah hukum, konsultasikan terlebih dahulu dengan ahli hukum yang kompeten agar langkah yang diambil tepat, aman, dan tidak menimbulkan risiko hukum.
