Dalam menjalankan roda perusahaan, direksi sering kali memberikan arahan dan instruksi kepada karyawan untuk memastikan target bisnis tercapai. Namun, bagaimana jika ada karyawan yang melakukan tindak pidana dalam menjalankan tugasnya?
Apakah direksi otomatis dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan bawahannya? Artikel ini akan membahas secara mendalam penerapan Pasal 55 KUHP tentang Pidana Penyertaan dan bagaimana risiko pidana ini dapat dikelola oleh direksi perusahaan.
Prinsip Dasar Pertanggungjawaban Pidana: Bersifat Pribadi
Hukum pidana di Indonesia berpegang pada asas personal culpability – “tiada pidana tanpa kesalahan”. Melansir Cornell Law School, seseorang hanya dapat dipidana atas perbuatan dan kesalahannya sendiri, bukan semata-mata karena jabatannya atau perbuatan orang lain.
Dalam konteks hubungan kerja, direksi tidak otomatis bertanggung jawab secara pidana hanya karena ia adalah pimpinan perusahaan.
Intinya: Direksi hanya dapat dipidana apabila terbukti ikut serta, memerintahkan, atau menganjurkan bawahannya melakukan tindak pidana sesuai Pasal 55 KUHP.
Penerapan Pasal 55 KUHP pada Hubungan Atasan-Bawah
Pasal 55 KUHP mengatur bahwa selain pelaku langsung, pihak-pihak berikut juga dapat dipidana:
- Pelaku Tidak Langsung (Doenpleger): Direksi yang memerintahkan bawahannya melakukan tindak pidana.
- Turut Serta (Medepleger): Direksi yang bekerjasama atau ikut berbuat melakukan tindak pidana dengan bawahan.
- Penganjur (Uitlokker): Direksi yang mendorong atau membujuk bawahannya melakukan tindak pidana, misalnya melalui tekanan, ancaman, atau penyalahgunaan kekuasaan.
Apabila keterlibatan direksi dapat dibuktikan, ancaman hukuman yang dikenakan setara dengan pelaku langsung.
Direksi Tidak Selalu Dipidana atas Perbuatan Karyawan
Jika bawahan melakukan tindak pidana tanpa arahan atau keterlibatan direksi, maka pertanggungjawaban pidana tidak bisa dialihkan kepada direksi.
Contoh: Seorang staf melakukan penggelapan dana tanpa sepengetahuan direksi dan tanpa adanya perintah dari atasan. Dalam situasi ini, direksi tidak dapat dipidana, kecuali terbukti lalai secara signifikan hingga memenuhi unsur pidana tertentu.
Risiko Pidana yang Perlu Diwaspadai Direksi
Walaupun tidak ada pertanggungjawaban otomatis, beberapa situasi dapat membuat direksi terseret ke ranah pidana, antara lain:
- Memberikan instruksi ilegal kepada bawahan (misalnya memerintahkan manipulasi laporan atau dokumen).
- Turut terlibat atau menyetujui tindakan pidana bawahan demi keuntungan perusahaan.
- Pembiaran atau kelalaian berat yang dapat diinterpretasikan sebagai persetujuan terhadap tindak pidana tersebut.
- Pelanggaran peraturan khusus yang menetapkan vicarious liability (contoh: kejahatan lingkungan atau tindak pidana korporasi tertentu).
Studi Kasus: Ketika Atasan Bisa Dipidana
Beberapa kasus nyata menunjukkan bagaimana direksi bisa dijerat pidana:
- Kasus SNP Finance: Direksi memerintahkan bawahan memasukkan data fiktif pada dokumen kredit. Pengadilan menilai direksi sebagai pelaku utama (doenpleger), meskipun bawahan yang mengeksekusi perintah tetap dihukum.
- Kasus Korupsi Proyek Pengadaan: Pejabat atau direksi yang menginstruksikan bawahan untuk mengatur tender secara ilegal dijerat Pasal 55 KUHP sebagai pelaku bersama.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa perintah dan keterlibatan aktif direksi dapat menimbulkan risiko pidana setara dengan pelaku langsung.
Mitigasi Risiko Pidana bagi Direksi
Untuk menghindari potensi jeratan hukum pidana akibat perbuatan bawahan, direksi dapat mengambil langkah-langkah berikut:
- Menerapkan Compliance Program: Membuat prosedur kerja yang jelas, SOP, dan pengawasan ketat atas kegiatan bawahan.
- Memastikan Legalitas Perintah: Setiap instruksi bisnis harus sesuai dengan hukum dan regulasi yang berlaku.
- Melakukan Audit Internal Berkala: Mengidentifikasi potensi pelanggaran hukum sebelum terjadi masalah pidana.
- Membangun Whistleblowing System: Mempermudah pelaporan karyawan jika ada praktik ilegal di perusahaan.
- Konsultasi dengan Ahli Hukum: Melibatkan konsultan hukum atau mitra advokat untuk memastikan keputusan bisnis tidak menimbulkan risiko pidana.
Kesimpulan
Direksi tidak otomatis dipidana atas perbuatan pidana karyawan, namun dapat dimintai pertanggungjawaban jika terbukti memberi perintah, turut serta, atau lalai secara hukum sehingga memungkinkan terjadinya tindak pidana. Pemahaman yang baik terhadap Pasal 55 KUHP dan penerapan strategi mitigasi risiko hukum sangat penting untuk melindungi diri dan perusahaan dari potensi sanksi pidana.
Butuh Pendampingan Hukum?
Penafian: Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi dan edukasi umum, dan bukan merupakan nasihat hukum formal. Untuk permasalahan spesifik yang Anda hadapi, sangat disarankan untuk berkonsultasi langsung dengan konsultan hukum atau advokat profesional.