Dalam beberapa tahun terakhir, prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) semakin sering dibicarakan dalam dunia korporasi dan investasi. Di tengah krisis iklim, tuntutan transparansi, dan ekspektasi pasar untuk keberlanjutan, prinsip ini bukan lagi hanya sebagai komitmen sosial atau pelengkap laporan tahunan, tetapi mulai dipandang sebagai indikator penting untuk menilai arah dan daya tahan sebuah bisnis yang menjadi bagian dari keputusan strategis perusahaan.
Lalu bagaimana ESG memengaruhi keputusan yang diambil oleh perusahaan baik dalam investasi maupun tata kelola? Sejauh mana praktik tersebut berjalan di Indonesia?
ESG sebagai Strategi Investasi dan Tata Kelola Perusahaan
Pendekatan investasi saat ini semakin bergeser dari orientasi tunggal pada keuntungan ke arah purpose-based investment, yang mengutamakan nilai dan keberlanjutan. Transformasi ESG yang kini menjadi komponen strategis dalam keputusan investasi tidak lepas dari krisis kepercayaan terhadap model korporasi tradisional yang hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek.
Seperti skandal Enron di tahun 2001 yang memperlihatkan bagaimana tata kelola yang lemah dan manipulasi laporan keuangan dapat menyebabkan kehancuran korporasi besar dan merusak kredibilitas pasar modal. Sejak saat itu, banyak yurisdiksi mendorong reformasi menuju model tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel, sekaligus membuka ruang bagi konsep investasi berbasis tujuan, termasuk ESG.
Secara historis, prinsip ESG berkembang seiring meningkatnya kesadaran global akan perlunya standar keberlanjutan dan tanggung jawab sosial dalam praktik bisnis. Inisiatif seperti Who Cares Wins (2004) dan Principles for Responsible Investment (2006) menjadi tonggak penting yang mendorong integrasi faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola ke dalam proses investasi.
Dalam konsep korporasi, ESG juga memperkuat pendekatan stakeholder primacy, yang menekankan bahwa perusahaan tidak hanya bertanggung jawab kepada pemegang saham, tetapi juga kepada lingkungan, karyawan, komunitas, dan pihak-pihak lain yang terdampak. Pendekatan ini bertolak belakang dengan shareholder primacy yang selama ini mendominasi model bisnis tradisional, di mana kesuksesan perusahaan lebih beroientasi dari keuntungan finansial.
Saat ini, ESG bukan hanya digunakan sebagai alat evaluasi, tapi juga telah masuk ke dalam praktik operasional dan struktur pengambilan keputusan perusahaan. Lembaga keuangan global seperti BlackRock, Vanguard, dan BNP Paribas mewajibkan portofolio mereka menerapkan prinsip ESG.
Bahkan bank dan investor institusi menolak mendanai proyek yang tidak menunjukkan komitmen keberlanjutan. Hal ini membuat ESG menjadi bagian dari risk screening utama perusahaan dengan rekam jejak buruk dalam hal emisi karbon, pelanggaran HAM, atau struktur governance yang tidak sehat dianggap tidak layak investasi.
Baca Juga: Kewajiban Hukum dan Pelaksanaan ESG untuk Perusahaan di Indonesia
Di sisi governance, ESG juga berdampak besar terhadap bagaimana perusahaan mengatur struktur internal mereka. Perusahaan mulai membentuk sustainability committee di tingkat dewan, menyusun kebijakan keterbukaan informasi non-keuangan, hingga melibatkan pemegang saham dan publik dalam proses penyusunan strategi. ESG menggeser pemahaman bahwa tata kelola bukan sekadar formalitas hukum, tetapi fondasi strategis untuk mempertahankan legitimasi dan keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang.
Tantangan dan Langkah Integrasi ESG di Indonesia
Penerapan ESG di Indonesia masih menghadapi sejumlah hambatan. Banyak perusahaan melihat ESG sebagai formalitas cukup tercantum dalam laporan tahunan atau dokumen tender, tanpa benar-benar diintegrasikan dalam pengambilan keputusan. Hal ini diperkuat oleh lemahnya kerangka regulasi yang bersifat wajib dan minimnya standar yang operasional.
Beberapa kebijakan seperti Pasal 74 UUPT dan POJK No. 51/2017 memang sudah memberi arah, namun penerapannya belum konsisten dan belum menjadi bagian dari sistem tata kelola yang hidup. Banyak perusahaan justru mengadopsi standar ESG dari grup induk luar negeri karena tuntutan global yang lebih konkret.
Untuk mendorong ESG yang lebih substansial, langkah sederhana tapi strategis bisa dimulai dari internalisasi prinsip keberlanjutan dalam manajemen risiko, peningkatan transparansi, dan pelibatan pemangku kepentingan secara aktif. ESG yang terintegrasi dengan tata kelola tidak hanya menciptakan reputasi, tetapi juga memperkuat daya tahan bisnis ke depan.