Belum lama ini, tepatnya pada 21 Mei 2024, telah terjadi turbulensi pesawat parah yang dialami oleh maskapai Singapore Airlines tujuan London menuju Singapura. Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun turbulensi tidak dapat diprediksi sepenuhnya, dampaknya dapat signifikan.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memiliki dasar hukum yang jelas untuk melindungi hak-hak penumpang yang menjadi korban.
Dalam artikel kali ini, kita akan bersama-sama menyimak penjelasan tentang dasar hukum yang melindungi hak korban kecelakaan karena turbulensi, pihak yang bertanggung jawab, hingga hak-hak korban.
Kasus Kecelakaan Pesawat Karena Turbulensi di Singapura
Pada 21 Mei 2024, terjadi peristiwa turbulensi parah yang dialami maskapai Singapore Airlines yang berangkat dari London menuju Singapura. Peristiwa itu membuat pesawat Singapore Airlines melakukan pendaratan darurat di Bangkok. Tercatat ada korban jiwa sejumlah satu penumpang dan 30 orang lainnya luka-luka.
Turbulensi sendiri merupakan kondisi ketika kecepatan aliran udara berubah drastis. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan turbulensi, misalnya seperti pola cuaca yang tidak stabil.
Dalam beberapa kejadian, turbulensi biasanya bersifat ringan dan hanya menimbulkan getaran ringan yang dapat dirasakan penumpang. Namun, tak jarang juga turbulensi parah dapat terjadi hingga membuat penumpang terguncang-guncang dengan keras dan barang-barang di sekitar kabin berhamburan.
Oleh karena itu, perlindungan penuh terhadap penumpang yang mengalami turbulensi parah hingga mengakibatkan cedera perlu dipahami bersama-sama agar hak korban bisa terpenuhi.
Dasar Hukum untuk Melindungi Hak Korban Kecelakaan karena Turbulensi
Perlindungan hukum bagi korban kecelakaan pesawat, termasuk yang disebabkan oleh turbulensi, diatur dalam berbagai regulasi internasional dan nasional. Regulasi internasional yang pertama adalah Konvensi Warsaw 1929, tepatnya pada pasal 17 yang berbunyi: The carrier is liable for damage sustained in the event of the death or wounding of a passenger or any other bodily injury suffered by a passenger, if the accident which caused the damage so sustained took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking.
Artinya: Pengangkut bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi dalam hal kematian atau luka penumpang atau cedera badan lainnya yang diderita oleh penumpang, jika kecelakaan yang menyebabkan kerusakan tersebut terjadi di dalam pesawat atau selama proses naik atau turun dari pesawat.
Kemudian, regulasi internasional yang kedua adalah Konvensi Montreal 1999 yang mengatur tentang kecelakaan pesawat dalam pasal 17 ayat (1), berbunyi:
The carrier is liable for damage sustained in case of the death or bodily injury of a passenger upon condition only that the accident which caused of death or injury took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking.
Artinya: Pengangkut bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi dalam hal kematian atau cedera badan penumpang dengan syarat bahwa kecelakaan yang menyebabkan kematian atau cedera tersebut terjadi di dalam pesawat atau selama proses naik atau turun dari pesawat.
Di Indonesia, hak-hak penumpang juga dilindungi oleh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Pasal 2 menyebutkan bahwa, Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap :
penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;
hilang atau rusaknya bagasi kabin;
hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat
hilang, musnah, atau rusaknya kargo;
keterlambatan angkutan udara; dan
kerugian yang diderita oleh pihak ketiga
Besarnya ganti rugi yang diakibatkan oleh kecelakaan pesawat pun berbeda-beda, bergantung pada jenis kerugian yang dialami. Salah satunya terdapat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Pasal 3 disebutkan bahwa:
Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-Iuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan sebagai berikut :
penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti kerugian sebesar Rp.1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang;
penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar udara tujuan dan atau bandar udara persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang;
penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per penumpang; dan
penumpang yang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Cacat Tetap Total sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 yaitu kehilangan penglihatan total dari 2 (dua) mata yang tidak dapat disembuhkan, atau terputusnya 2 (dua) tangan atau 2 (dua) kaki atau satu tangan dan satu kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki, atau Kehilangan penglihatan total dari 1 (satu) mata yang tidak dapat disembuhkan dan terputusnya 1 (satu) tangan atau kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki.
penumpang yang mengalami luka-Iuka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/ atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.
Pihak yang Bertanggung Jawab jika Terjadi Kecelakaan Pesawat Karena turbulensi
Dalam kasus kecelakaan pesawat akibat turbulensi, beberapa pihak dapat dianggap bertanggung jawab, tergantung pada kondisi dan penyebab spesifik dari kecelakaan tersebut. Maskapai penerbangan biasanya memegang tanggung jawab utama karena mereka yang mengoperasikan penerbangan dan memastikan keselamatan penumpang.
Namun, pihak lain seperti produsen pesawat dan penyedia layanan pemeliharaan juga dapat bertanggung jawab jika ditemukan adanya kesalahan teknis atau pemeliharaan yang tidak memadai yang memperparah dampak turbulensi. Pengawas penerbangan atau otoritas penerbangan sipil juga memiliki peran dalam memastikan bahwa maskapai mematuhi standar keselamatan yang berlaku.
Hak Korban Kecelakaan Pesawat akibat Turbulensi
Dalam situasi seperti ini, penting untuk memahami hak-hak yang dimiliki oleh korban, baik yang mengalami cedera maupun yang meninggal dunia. Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang.
1. Korban yang Meninggal Dunia
Khusus untuk korban kecelakaan yang meninggal dunia akibat kejadian dalam pesawat udara atau saat naik dan turun pesawat, Pemerintah Indonesia telah mengatur kompensasi yang harus diberikan oleh pengangkut melalui beberapa peraturan:
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan: Pasal 141 ayat (1) mengatur tanggung jawab pengangkut atas kerugian penumpang yang meninggal dunia.
Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011:
Pasal 3 huruf a: Penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat akibat kecelakaan pesawat diberi ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar per penumpang.
Penumpang yang meninggal di luar pesawat (saat meninggalkan ruang tunggu bandara ke pesawat atau saat turun dari pesawat ke ruang kedatangan bandara tujuan dan/atau bandara transit) diberi ganti rugi sebesar Rp 500 juta.
2. Korban yang Mengalami Cedera
Bagi korban yang mengalami cedera akibat kecelakaan pesawat, termasuk turbulensi, terdapat beberapa bentuk kompensasi yang diatur dalam peraturan:
Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011:
Pasal 3 huruf c angka 1: Penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak terjadinya kecelakaan, diberi ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar.
Untuk cacat tetap seperti kehilangan satu mata dan pendengaran, korban mendapat ganti rugi sebesar Rp 150 juta.
Bagi penumpang yang kehilangan salah satu ruas jari atau salah satu jari, ganti rugi mulai dari Rp 11,5 juta hingga Rp 125 juta.
Kesadaran akan hak-hak ini penting bagi penumpang agar mereka dapat menuntut haknya dengan tepat apabila mengalami insiden turbulensi yang mengakibatkan kerugian.
Kesimpulan
Kecelakaan pesawat akibat turbulensi dapat menimbulkan dampak yang signifikan bagi penumpang. Oleh karena itu, perlindungan hak korban kecelakaan pesawat karena turbulensi perlu dijaga bersama-sama. Untuk memastikan hak-hak korban bisa terpenuhi, Anda bisa coba mengkonsultasikannya dengan hali hukum terpercaya. Hukumku dapat menjadi pilihan yang dapat membantu Anda terhubung dengan pengacara profesional dengan mudah kapan saja dan dimana saja.
Comments