Peninjauan Kembali (PK) merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan oleh pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). PK tidak boleh dipandang sebagai “banding kedua”, melainkan sebagai sarana korektif terakhir yang diberikan undang-undang demi menjamin keadilan.
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi memiliki peran sentral dalam mengatur serta memutus permohonan PK. Berikut adalah empat ketentuan penting terkait Peninjauan Kembali menurut Mahkamah Agung, beserta dasar hukumnya.
Ketentuan MA dalam Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali Hanya Dapat Diajukan Sekali
Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa PK tidak bisa diajukan berulang kali untuk perkara yang sama. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
“Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja.”
Hal ini menunjukkan bahwa PK merupakan pintu terakhir. Apabila sudah diajukan dan diputus, pihak yang kalah tidak bisa lagi mengajukan PK kedua. Dengan begitu, kepastian hukum tetap terjaga, meskipun keadilan tetap diupayakan melalui satu kali kesempatan PK.
Alasan Peninjauan Kembali Harus Sesuai dengan Undang-Undang
Tidak semua alasan bisa digunakan untuk mengajukan PK. Pasal 263 ayat (2) KUHAP mengatur bahwa PK hanya dapat diajukan dengan alasan tertentu, antara lain:
Adanya keadaan baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat, bila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berbeda.
Terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan.
Adanya putusan yang saling bertentangan terkait pihak dan pokok perkara yang sama.
Dengan demikian, PK tidak bisa dipakai sekadar untuk mengulang perkara atau menunda eksekusi, melainkan harus berdasarkan alasan hukum yang diakui.
Baca Juga: Novum dalam Proses Hukum: Kapan dan Bagaimana Diajukan?
PK Tidak Menangguhkan atau Menghentikan Eksekusi
Berdasarkan Pasal 268 ayat (1) KUHAP, pengajuan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan. Artinya, meskipun pihak terpidana atau pihak yang kalah mengajukan PK, putusan yang sudah inkracht tetap harus dijalankan.
Ketentuan ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan PK sebagai alasan untuk mengulur waktu atau menghindari eksekusi. Hanya jika Mahkamah Agung mengabulkan PK-lah putusan sebelumnya bisa dibatalkan atau diubah.
PK Diperiksa dan Diputus oleh Mahkamah Agung
Mahkamah Agung memiliki kewenangan penuh untuk memeriksa dan memutus PK. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yang menyebutkan bahwa permintaan PK diajukan kepada Mahkamah Agung melalui pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.
Dengan begitu, meskipun permohonan diajukan melalui pengadilan negeri, pengadilan tersebut hanya bertindak sebagai perantara administratif. Substansi PK tetap menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
Advokat Wajib Punya Alat Ini untuk Riset Hukum
Bagi advokat, riset cepat atas aturan dan putusan adalah kunci strategi. Oleh karena itu, Legal Hero, hadir dengan putusan dan aturan hukum yang lengkap terverifikasi, serta didukung oleh AI untuk membantu riset hukum lebih cepat dan akurat. Solusi praktis bagi advokat yang ingin bekerja lebih efisien dan percaya diri.
