Dalam dunia pelayaran komersial, kontrak sewa kapal atau charter party merupakan tulang punggung utama dari transaksi antar entitas bisnis. Namun, dalam realitas praktik, kegiatan pelayaran tidak selalu berjalan mulus.
Tapi apakah klausul ini benar-benar memberikan perlindungan hukum yang seimbang? Atau justru membuka celah untuk menghindar dari tanggung jawab? Artikel ini akan membahas tentang bagaimana penerapannya.
Force Majeure dalam Charter Party
Force majeure adalah klausul dalam kontrak yang memungkinkan salah satu atau kedua belah pihak dibebaskan dari kewajiban mereka jika terjadi peristiwa luar biasa yang tidak dapat diprediksi, tidak dapat dihindari, dan berada di luar kuasa manusia. Dalam konteks charter party, peristiwa semacam ini dapat menghalangi operasi pelayaran secara langsung, seperti:
- Gempa bumi atau tsunami yang merusak pelabuhan
- Perang atau embargo internasional yang melarang pelayaran di wilayah tertentu
- Pandemi yang menyebabkan pelarangan ekspor-impor
- Kebijakan pemerintah yang secara mendadak menutup jalur pelayaran
Dalam banyak kasus, klausul force majeure akan mencantumkan daftar peristiwa secara eksplisit untuk mencegah interpretasi yang terlalu luas. Meski demikian, tidak semua peristiwa berat dapat serta merta dikategorikan sebagai force majeure, terutama jika konsekuensinya masih dapat diatasi secara komersial.
Penerapan dalam Jenis-Jenis Charter Party
Secara umum, terdapat tiga jenis utama charter party:
- Bareboat Charter – Penyewa bertanggung jawab penuh atas kapal, termasuk kru dan operasional. Secara hukum, penyewa bisa dianggap sebagai pemilik kapal.
- Time Charter – Penyewa menggunakan kapal dalam periode tertentu, namun pengelolaan teknis tetap pada pemilik.
- Voyage Charter – Penyewa menyewa kapal untuk satu atau beberapa perjalanan tertentu. Penghitungan biaya berdasarkan pada kombinasi jumlah dan volume barang yang diangkut.
Klausul force majeure dapat berimplikasi berbeda tergantung pada jenis charter yang digunakan. Misalnya, dalam voyage charter, jika pelabuhan tujuan terkena embargo, pihak penyewa dapat mengklaim force majeure untuk menunda atau membatalkan perjalanan. Sementara dalam bareboat charter, tanggung jawab tetap di tangan penyewa karena mereka mengelola kapal sepenuhnya.
Perlindungan atau Celah Hukum?
Klausul force majeure idealnya berfungsi sebagai perlindungan hukum untuk keadaan yang benar-benar tidak dapat diantisipasi. Namun dalam praktiknya, terdapat potensi penyalahgunaan klausul ini sebagai dalih untuk menghindari kewajiban kontraktual. Misalnya, penyewa dapat mengklaim force majeure akibat gejolak politik minor padahal sebenarnya masih memungkinkan untuk mengalihkan jalur pelayaran.
Baca Juga: Peraturan Terbaru: Jumlah Barang Impor Bebas Bea Masuk Bertambah Menjadi 19 Jenis
Celakanya, banyak kontrak charter party yang menggunakan template standar tanpa penyesuaian dengan risiko aktual, sehingga menjadi multitafsir saat sengketa muncul. Selain itu, ketidaktepatan dalam redaksi klausul ini juga berisiko ditolak oleh arbitrator atau pengadilan.
Langkah Pencegahan dalam Penyusunan Klausul Force Majeure
Agar klausul force majeure tidak menjadi celah hukum, para pelaku industri pelayaran perlu mengambil langkah preventif saat menyusun kontrak, seperti:
- Mendefinisikan force majeure secara jelas, termasuk mencantumkan contoh konkret peristiwa yang dianggap masuk dalam kategori tersebut.
- Menentukan kewajiban mitigasi, yaitu kewajiban bagi pihak yang terdampak force majeure untuk tetap meminimalkan kerugian pihak lain.
- Membatasi jangka waktu force majeure, misalnya jika keadaan darurat berlangsung lebih dari 30 hari, maka salah satu pihak dapat membatalkan kontrak.
- Memasukkan ketentuan arbitrase atau forum penyelesaian sengketa, agar jika terjadi perselisihan, dapat diselesaikan secara efisien.
Klausul force majeure dalam charter party bukan sekadar pelengkap kontrak, melainkan elemen krusial dalam mengatur keseimbangan hak dan kewajiban para pihak dalam kondisi tidak terduga. Bila disusun dengan tepat, klausul ini bisa menjadi pelindung hukum yang efektif. Namun jika disusun secara asal, force majeure bisa berubah menjadi celah yang merugikan salah satu pihak.
Dalam dunia hukum pelayaran yang kompleks dan lintas yurisdiksi, kehati-hatian dalam penyusunan kontrak bukan hanya menyangkut kepentingan komersial, tetapi juga menjadi strategi mitigasi risiko hukum jangka panjang. Untuk itu, keterlibatan konsultan hukum maritim yang memahami konteks internasional dan domestik menjadi langkah yang bijak.
