Istilah wanprestasi seringkali muncul dalam perkara yang berkaitan dengan perjanjian seperti transaksi jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam hingga kerjasama bisnis, semuanya lahir karena adanya kesepakatan.
Lalu, bagaimana konsep perjanjian dan wanprestasi itu sendiri? Dan, kapan seseorang dinilai ingkar janji? Mari kita bahas lebih lanjut dalam pembahasan artikel ini.
Syarat sah perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)
Suatu perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat pokok sebagaimana termuat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yaitu:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, artinya setiap para pihak harus menyetujui atau menyepakati perjanjian tanpa adanya unsur paksaan, penipuan atau kekhilafan.
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, artinya setiap para pihak harus cakap untuk menyetujui atau menyepakati suatu perjanjian yang dibuat, diluar dari ketentuan dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
- Suatu pokok persoalan tertentu, artinya objek perjanjian yang dibuat jelas baik berupa barang, jasa atau suatu prestasi tertentu.
- Suatu sebab yang tidak terlarang, artinya perjanjian yang dibuat tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada, kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subyektif, apabila tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan, syarat hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat objektif, apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Apa itu Wanprestasi?
Berdasarkan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), menyebutkan:
“Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Menurut kamus Hukum karya Sudarsono Tahun 2007, Wanprestasi diartikan sebagai kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam suatu perjanjian. Pengaturan mengenai suatu perikatan atau perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), menyebutkan:
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”
Bentuk-Bentuk Wanprestasi
Berdasarkan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa wanprestasi dapat menimbulkan kewajiban bagi debitur untuk membayar ganti rugi kepada kreditur. Secara umum, bentuk wanprestasi meliputi:
- Tidak melaksanakan apa yang dijanjikan;
- Melaksanakan kewajiban, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;
- Melaksanakan kewajiban, tetapi terlambat;
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Keempat bentuk wanprestasi ini merupakan dasar untuk menilai kapan seseorang dinyatakan ingkar janji secara hukum.
Akibat Hukum Wanprestasi
Apabila terjadi wanprestasi, Pasal 1243 KUHPerdata memberi hak kepada kreditur untuk menuntut ganti rugi. Lebih lanjut, Pasal 1267 KUHPerdata menyatakan bahwa pihak yang dirugikan dapat menuntut:
- Pelaksanaan perjanjian;
- Pembatalan perjanjian dengan ganti rugi; atau
- Pelaksanaan sekaligus pembatalan dengan ganti rugi.
Dengan demikian, hukum memberikan perlindungan penuh kepada pihak yang dirugikan akibat wanprestasi.
Pertajam Strategi Hukum Anda dengan Legal Hero
Sebagai praktisi hukum, penguasaan atas syarat sah perjanjian dan konsekuensi wanprestasi bukan hanya kebutuhan, melainkan keharusan. Pastikan setiap kontrak yang Anda susun atau tangani memiliki landasan hukum yang kuat agar mampu menjadi instrumen perlindungan hak klien secara efektif.
