top of page
Gambar penulisHukumkuAdminMA

Kontroversi Pengenaan Cukai pada Makanan Siap Saji: Perspektif Hukum dan Ekonomi


Temukan informasi lengkap tentang kebijakan cukai pada makanan siap saji di Indonesia, termasuk latar belakang dan kontroversinya.

Makanan siap saji kena cukai Indonesia? Topik dari pertanyaan tersebut sekiranya menjadi perbincangan hangat belakangan ini, di mana pemerintah lewat Kementerian Kesehatan mewacanakan pemberlakuan cukai kepada produk olahan siap saji.


Bagaimana latar belakang peraturan pengenaan cukai pada makanan siap saji? Artikel ini membahas bagaimana makanan siap saji bisa terkena cukai, apa itu makanan siap saji, tujuan kebijakan terkait, dan mengapa peraturannya jadi kontroversi.


Latar Belakang Peraturan Pengenaan Cukai pada Makanan Siap Saji


Makanan siap saji kena cukai didasarkan pada pembatasan konsumsi garam, lemak, maupun gula. Berbicara mengenai tiga zat tersebut, konsumsi gula oleh masyarakat Indonesia ternyata mengalami lonjakan dari tahun ke tahun.


Sebagaimana dikutip Metro TV News, melalui artikel terbitan tanggal 7 Agustus 2024, WHO telah mendaftarkan diabetes sebagai faktor kematian nomor tinggi di Indonesia. Adapun penyakit ini bisa muncul ketika orang mengonsumsi kandungan gula berlebih.


Berhubungan dengan keterangan di atas, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, menyebutkan perihal pengenaan cukai makanan siap saji.


Kebijakan itu tertuang dalam Pasal 194 ayat (4), dengan bunyi:


“Selain penetapan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”


Adapun keterangan lebih jelas terkait pembatasan yang disebutkan sebelumnya, ditulis dalam Pasal 194 ayat (1) PP No. 28 Tahun 2024 berikut.


“Dalam rangka pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak, Pemerintah Pusat menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.”


Rencana realisasi aturan ini sekiranya masih menunggu penetapan Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR RI). Dikutip dari SNBC, Nirwala Dwi Heryanto, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu, menyebutkan peraturan itu masih sekadar usulan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan belum dijalankan dalam waktu dekat.


Apa yang Dimaksud dengan Makanan Siap Saji?


Ada berbagai macam jenis makanan siap saji yang dapat kita temukan di dalam kehidupan sehari-hari, misalnya cemilan yang sering dihidang untuk menikmati waktu luang. Jika merujuk aturan Pasal 194 ayat (4) yang tertulis dalam PP pelaksanaan UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023, makanan yang dikenai cukai adalah olahan siap saji tertentu.


Pangan siap saji dengan kata “tertentu” yang dimaksud dalam kalimat tersebut belum sepenuhnya mengklasifikasikan produk-produk khusus dan bersifat general. Entah itu yang berkaitan dengan ayat (1) seperti melebihi batas maksimal gula, lemak, dan garam, atau lainnya.


Secara umum, makanan olahan siap saji merupakan minuman ataupun makanan yang telah diolah dan siap disajikan kepada konsumen. Penghidangannya pun bisa terjadi di berbagai tempat, misalnya rumah makan, luar tempat usaha, dan sebagainya.


Mengutip Kementerian Kesehatan, terdapat beberapa variasi makanan siap saji yang kerap dikonsumsi masyarakat. Di antaranya ada burger, keripik-keripikan, ayam goreng tepung, goreng-gorengan, hingga frozen food (makanan beku).

Lantas, apa tujuan dari kebijakan pengenaan cukai pada makanan siap saji?


Tujuan dari Kebijakan Pengenaan Cukai pada Makanan Siap Saji


Makanan siap saji kena cukai Indonesia didasarkan pada “Upaya Kesehatan” yang tercantum dalam Pasal 22 poin t UU Nomor 17 Tahun 2023. Dalam rangka menjaga kesehatan masyarakat, Kemenkes menjalankan “Pengamanan makanan dan minuman”.


Melalui keterangan bunyi pasal di atas, kita dapat mengetahui alasan utama pemerintah mengenakan bea cukai pada makanan siap saji karena ingin mengupayakan kesehatan. Dengan kata lain, meningkatkan kesehatan publik.


Adapun tujuan kedua mengendalikan konsumsinya karena mempunyai potensi negatif tertentu bagi kesehatan masyarakat. Seperti yang disebut Pasal 194 ayat (1) PP No. 28 Tahun 2024, “Pemerintah Pusat menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji”.


Jadi, tujuan kebijakan pengenaan cukai pada makanan siap saji ini berlandaskan asas kesehatan dan pembatasan demi kesehatan.


Mengapa Kebijakan Tersebut Menjadi Kontroversi?


Kendati pada dasarnya baik untuk kesehatan, makanan siap saji kena cukai tentu akan memberikan dampak tertentu bagi kehidupan perekonomian di Indonesia. Sebut misalnya pedagang kaki lima yang kurang mengerti kebijakan pemerintah, tentu hal ini akan menjadi sesuatu yang baru dan menyulitkan bagi mereka.


Kemudian pemberlakuan tersebut juga bisa meningkatkan pengeluaran konsumsi masyarakat karena setiap produk siap saji terkena cukai. Biaya tentunya akan meningkat, mengingat biaya cukai harus ditambahkan sebagai modal industri.


Dikutip dari Rakyat Merdeka, menyikapi kebijakan terkait, Ali Mahsun Atmo, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI), memberikan sedikit komentar. Aturan tersebut diklaim bukan dimaksudkan untuk menyehatkan masyarakat, tapi memberatkan beban mereka.


Pria itu juga menyebutkan bahwa makanan siap saji kena cukai merupakan simbol “Loss Control of Power”. Secara singkat mengibaratkan pihak yang memiliki kekuatan malah membuat aturan “tak terkontrol”.


Lebih dari itu, ditekankan bahwa penerapan aturan tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yang memperhatikan kepentingan hidup khalayak. Begitu pula pendapat Agus Sujatno, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang meminta ketentuan ini dikaji lagi.


Kesimpulan


Berdasarkan pembahasan di atas, makanan siap saji kena cukai diatur demi mengupayakan kesehatan masyarakat Indonesia. Kemudian membatasi penggunaan zat gula, garam, serta konsumsi pangan olahan siap saji.


Kebijakan tersebut didasarkan pada PP Nomor 28 Tahun 2024 yang isinya pelaksanaan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2023. Kendati maksudnya positif, tetap ada potensi negatif di berbagai bidang lain yang akan muncul.


Oleh sebab itu, pemerintah semestinya melakukan pengkajian ulang terhadap penerapan kebijakan ini. Kenyataannya, peraturan tersebut bisa memicu lonjakan pengeluaran ekonomi lantaran para produsen harus membayar cukai.


Konsumen pun pasti akan merasa keberatan karena barang yang sebelumnya dijual normal mengalami kenaikan harga. Titik tengah dari kontroversi makanan siap saji kena cukai ini mesti segera dicari dengan melihat berbagai sektor lain yang terkena pengaruhnya.


Dengan adanya komunikasi, permasalahan yang berpotensi timbul di kemudian hari bisa terselesaikan secara baik-baik. Bahkan, pemerintah dan masyarakat dapat tetap menjalankan kesehariannya tanpa perlu adu argumentasi lagi.




Comments


bottom of page