Salah satu metode dalam metode penyelesaian sengketa ialah klausa multi-tier dispute resolution. Singkatnya, praktik ini menawarkan langkah sengketa berlapis sebelum masuk ke tahap arbitrase.
Lalu, apakah multi-tier dispute resolution benar-benar memiliki kekuatan mengikat, atau justru membuka ruang bagi sengketa baru terkait prosedur?
Konsep Multi-tier Dispute Resolution
Menurut Mauricio Gomm Santos, seorang praktisi arbitrase internasional dan akademisi dalam tulisannya “The Role of Mediation in Arbitration: The Use and the Challenges of Multi-Tiered Clauses in International Agreements”, klausa multi-tier dispute resolution dipahami sebagai klausa kontrak yang mengatur tahapan berbeda penyelesaian sengketa, dimulai dari negosiasi atau mediasi sebelum berlanjut ke arbitrase.
Pada umumnya, hal tersebut menginisiasi penyelesaian terlebih dahulu melalui negosiasi langsung. Tahap ini memberi kesempatan bagi para pihak untuk mencari solusi secara damai tanpa campur tangan pihak ketiga, biasanya dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan dalam kontrak.
Baca Juga: Memahami Negosiasi: Definisi, Tujuan, dan Contoh Strukturnya
Apabila negosiasi tidak menghasilkan kesepakatan, maka proses berlanjut ke mediasi, di mana seorang pihak ketiga yang netral membantu para pihak menemukan titik temu. Jika mediasi pun tidak berhasil membawa para pihak pada kesepakatan, barulah sengketa dapat diajukan ke arbitrase sebagai forum terakhir yang bersifat final dan mengikat.
Risiko dan Tantangan dalam Perjanjian Arbitrase yang Mengandung Klausa Multi-Tier Dispute Resolution
Perjanjian arbitrase pada dasarnya memiliki sifat yang exclusive karena dapat menyingkirkan yurisdiksi pengadilan negeri ketika para pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terikat perjanjian arbitrase. Sifat ini berakar pada asas party autonomy dan sifat arbitrase yang final dan mengikat (binding).
Baca Juga: Tahapan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Namun, ketika klausul multi-tier dispute resolution ditambahkan dalam kontrak, sifat eksklusif arbitrase ini dapat memunculkan sejumlah tantangan:
- Ambiguitas Klausul: Banyak perjanjian yang memuat kalimat umum seperti “para pihak akan berunding secara damai” tanpa penjelasan prosedur atau tenggat waktu. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah klausul itu sekadar aspirasi atau syarat yang benar-benar mengikat.
- Potensi Penundaan: Pihak yang tidak beritikad baik dapat menggunakan mekanisme ini sebagai alasan untuk menunda jalannya arbitrase dengan mengklaim bahwa tahapan awal belum dijalankan sepenuhnya. Ini melemahkan tujuan arbitrase yang seharusnya memberi kepastian hukum secara cepat.
- Sengketa Yurisdiksi: Tribunal arbitrase dapat dihadapkan pada pertanyaan apakah mereka berwenang memeriksa sengketa ketika salah satu pihak melompati negosiasi atau mediasi karena klausa yang kurang jelas dan tumpang tindih. Tantangan yurisdiksi ini sering memperpanjang proses arbitrase.
- Campur Tangan Pengadilan Nasional: Dalam praktiknya, pihak yang tidak puas bisa membawa isu multi-tier dispute resolution ke pengadilan negeri, menuduh arbitrase diajukan secara prematur. Hal ini bisa menimbulkan dualisme forum dan menggerus sifat eksklusif perjanjian arbitrase.
Dengan demikian, alih-alih mempercepat penyelesaian sengketa, klausul multi-tier dispute resolution yang kabur justru berisiko menambah lapisan sengketa prosedural sebelum masuk ke pokok perkara
Kekuatan Mengikat Klausa Multi-Tier Dispute Resolution dalam Arbitrase
Klausul ini bisa berfungsi sebagai solusi atas ancaman yang muncul jika dilakukan sebagai keharusan kontraktual yang mengikat. Prinsip pacta sunt servanda (Pasal 1338 KUH Perdata) memberikan dasar hukum bahwa tahapan prosedur yang sudah disepakati harus dipatuhi sebelum arbitrase dilakukan. Berikut beberapa cara dalam meningkatkan efektivitas MDR seperti:
- Perumusan yang Jelas: Tahapan negosiasi dan mediasi ada baiknya dilengkapi prosedur dan tenggat waktu yang tegas. Hal ini menghindarkan perdebatan tentang apakah syarat sudah dilakukan atau belum.
- Penegasan sebagai Condition Precedent: Klausul harus dituntun sebagai syarat pendahuluan sebelum arbitrase. Dengan demikian, tribunal punya landasan kuat untuk menolak perkara yang diajukan secara prematur.
- Jangka Waktu yang Jelas: Penetapan jangka waktu (misalnya 30 hari untuk negosiasi, 60 hari untuk mediasi) selaras agar klausul tidak dimanfaatkan sebagai alat penundaan.
- Klausa Itikad Baik: Menyisipkan kewajiban untuk negosiasi dalam good faith dapat memperkuat bahwa mekanisme ini bukanlah formalitas, melainkan kewajiban prosedural yang dapat ditegakkan.
Contoh praktik internasional menunjukkan bahwa klausul multi-tier dispute resolution yang spesifik memang dapat ditegakkan. Pada Emirates Trading v Prime Mineral Exports (2014), pengadilan Inggris menilai obligasi “friendly discussions” selama empat minggu sah dan mengikat karena rumusannya cukup tegas.