Platform Riset Hukum Berbasis AI
Transisi energi kini menjadi agenda besar di banyak negara di dunia. Peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan semakin mendesak seiring meningkatnya isu perubahan iklim dan tuntutan pengurangan emisi.
Indonesia pun ikut bergerak dalam arus global ini dengan menargetkan peningkatan penggunaan energi bersih, mengurangi ketergantungan pada minyak, serta mempertahankan gas alam sebagai energi transisi. Perubahan ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga membutuhkan regulasi yang jelas sebagai landasan.
Artikel ini akan membahas bagaimana regulasi minyak dan gas di Indonesia menyesuaikan diri dengan arus transisi energi terbarukan, mulai dari dasar hukum yang menjadi pijakan hingga peluang dan tantangan yang dihadapi industri migas di era baru ini.
Target Energi Nasional
Arah transisi energi Indonesia secara resmi dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Regulasi ini menjadi pijakan penting, karena menetapkan target jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil sekaligus meningkatkan peran energi terbarukan.
Menurut RUEN, porsi energi terbarukan ditargetkan naik menjadi 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050. Sementara penggunaan minyak bumi diturunkan dari 45% pada 2015 menjadi 25% pada 2025. Gas alam diposisikan sebagai energi “jembatan” untuk menopang kebutuhan energi nasional.
Perubahan arah bauran energi ini tentu akan berimplikasi pada kontrak jangka panjang di sektor energi, termasuk renegosiasi kewajiban dan perizinan. Di sinilah pemahaman hukum menjadi penting agar transisi berjalan tanpa menimbulkan sengketa.
Aturan Baru tentang Karbon
Untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Aturan ini membuka mekanisme perdagangan karbon dengan dua skema:
1. Cap-and-trade
Dimana perusahaan wajib mematuhi batas emisi tertentu, dan bisa membeli atau menjual kuota jika melebihi atau kurang dari batas.
2. Pasar offset
Dimana perusahaan dapat membeli kredit karbon dari pihak lain yang berhasil mengurangi emisi.
Selain itu, Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan memperkenalkan pajak karbon. Perusahaan yang berhasil menurunkan emisi bisa memperoleh insentif pajak, sehingga regulasi ini tidak hanya menjadi instrumen tekanan, tetapi juga membuka peluang bisnis baru.
Namun, aturan perdagangan karbon juga menghadirkan risiko, mulai dari perbedaan perhitungan emisi, kepatuhan administrasi, hingga sengketa dalam jual-beli kredit karbon. Situasi ini memberi ruang bagi advokat untuk memastikan kontrak dan kepatuhan hukum berjalan dengan tepat.
Teknologi CCS/CCUS
Langkah penting lain dalam transisi energi adalah lahirnya regulasi tentang Carbon Capture and Storage (CCS) serta Carbon Capture, Utilisation and Storage (CCUS). Teknologi ini memungkinkan emisi karbon ditangkap, lalu disimpan di bawah tanah atau bahkan dimanfaatkan kembali untuk kegiatan industri.
Untuk mendukung implementasi CCS/CCUS, pemerintah telah mengeluarkan beberapa aturan khusus:
1. Permen ESDM No. 2/2023
Aturan ini menjadi dasar awal yang mengatur tata cara pelaksanaan CCS/CCUS di sektor migas. Di dalamnya terdapat ketentuan mengenai persyaratan teknis, prosedur perizinan, hingga bagaimana kegiatan ini harus dilaporkan. Dengan adanya regulasi ini, kontraktor migas punya kepastian hukum ketika ingin memulai proyek CCS/CCUS.
2. PTK 070/2024
Jika Permen ESDM hanya memberikan gambaran umum, PTK 070/2024 turun lebih detail ke level teknis. Regulasi ini mengatur bagaimana kegiatan CCS/CCUS dilakukan di lapangan, mulai dari standar keamanan operasional, metode pemantauan penyimpanan karbon, sampai mekanisme pelaporan berkala kepada pemerintah.
3. Perpres No. 14/2024
Aturan ini memberi kerangka hukum yang lebih luas dan strategis. Di sini ditegaskan bahwa Indonesia menargetkan diri menjadi pusat CCS di Asia. Perpres ini juga membuka dua skema implementasi: pertama, integrasi CCS ke dalam kontrak migas yang sudah ada; kedua, izin eksplorasi dan penyimpanan karbon di wilayah baru yang sebelumnya bukan area kerja migas.
4. Permen ESDM No. 16/2024
Regulasi ini melengkapi keseluruhan kerangka hukum dengan menetapkan mekanisme penentuan wilayah khusus penyimpanan karbon. Selain itu, aturan ini juga mengatur proses perizinan dan memperjelas siapa saja yang dapat berpartisipasi dalam kegiatan CCS, baik perusahaan migas maupun non-migas.
Dampak bagi Industri Migas
Bagi perusahaan migas, lahirnya berbagai aturan transisi energi ini membawa perubahan besar dalam model bisnis mereka. Kini, perusahaan tidak hanya bergerak di eksplorasi dan produksi, tetapi juga harus mengelola emisi dan masuk ke pasar karbon.
Di satu sisi, ada peluang bisnis baru, mulai dari perdagangan kredit karbon hingga jasa penyimpanan melalui CCS/CCUS. Namun, di sisi lain, tantangan nyata hadir dalam bentuk kebutuhan investasi besar, biaya operasional tambahan, serta kewajiban kepatuhan yang semakin kompleks.
Perubahan ini pada akhirnya akan melahirkan banyak pertanyaan hukum: bagaimana kontrak migas menyesuaikan klausul baru, bagaimana risiko lingkungan diatur, hingga bagaimana insentif pajak bisa dimanfaatkan secara legal.
Peran Penting Advokat di Era Transisi Energi
Bergesernya regulasi migas menuju transisi energi menuntut advokat untuk lebih dari sekadar memahami hukum migas konvensional. Kini, penguasaan atas aturan teknis seperti Perpres 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, UU 7/2021 tentang Harmonisasi Perpajakan, hingga regulasi CCS/CCUS menjadi kunci.
Seorang advokat yang mendampingi klien migas harus mampu:
- memastikan kepatuhan terhadap kewajiban baru,
- menyusun kontrak dengan klausul yang adaptif terhadap regulasi,
- mengantisipasi potensi sengketa dalam perdagangan karbon,
- serta merancang strategi hukum jangka panjang di sektor energi.
Dengan penguasaan regulasi yang mendalam, advokat bukan hanya melindungi klien dari risiko hukum, tetapi juga membantu mereka melihat peluang baru yang muncul dari transisi energi.
Penutup
Rangkaian regulasi terbaru menunjukkan bahwa sektor migas kini bergerak seiring agenda transisi energi. Perusahaan dituntut untuk mengadopsi teknologi baru, menanggung investasi lebih besar, dan memastikan kepastian hukum di tengah aturan yang semakin kompleks.
Bagi advokat, memahami dinamika ini adalah kebutuhan strategis. Klien di sektor energi mencari arahan hukum yang tidak hanya menjaga kepatuhan, tetapi juga mampu memaksimalkan peluang bisnis baru.
Di sinilah Legal Hero hadir, dengan database hukum yang diperkuat teknologi AI, advokat dapat menelusuri regulasi terbaru, menghubungkannya dengan praktik bisnis, dan merumuskan strategi hukum yang cepat serta presisi di tengah kompleksitas transisi energi.
