Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mencabut ketentuan yang mewajibkan aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) meminta izin Jaksa Agung sebelum memproses jaksa yang diduga melanggar hukum. Putusan ini dinilai sebagai langkah monumental yang dapat mengguncang tatanan hukum di tubuh Kejaksaan RI.
Dalam Putusan Nomor 15/PUU-XXIII/2025, yang dibacakan pada Kamis (16/10/2025), MK menilai bahwa Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI bertentangan dengan prinsip equality before the law. Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa norma izin khusus tersebut berpotensi menghambat penegakan hukum dan mencederai semangat negara hukum.
Sebagaimana dilansir dari Tempo.co, MK menyatakan jaksa kini dapat dipanggil, diperiksa, atau ditahan oleh penegak hukum lain tanpa perlu izin dari Jaksa Agung, terutama dalam kasus dengan bukti permulaan yang cukup atau keadaan tertangkap tangan.
Reformasi Besar dalam Penegakan Hukum
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa jaksa kini tak lagi kebal dari proses hukum. Selama ini, mekanisme izin Jaksa Agung sering disebut sebagai “tameng” bagi oknum jaksa yang terjerat kasus.
Seperti yang diberitakan Detik.com, banyak perkara diduga mandek karena tersangkanya merupakan jaksa aktif dan prosesnya terhambat di tingkat internal Kejaksaan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menilai momen ini sebagai “peluang emas” bagi KPK dan Polri untuk membuka kembali kasus-kasus jaksa nakal yang selama ini terlindungi.
“Ini saatnya menindak tegas jaksa-jaksa yang terlibat pelanggaran, apalagi yang selama ini kasusnya seolah-olah hilang di Kejaksaan sendiri,” ujar Ficar sebagaimana dilansir dari Inilah.com, Sabtu (18/10/2025).
Kasus “Pagar Makan Tanaman” Kembali Disorot
Salah satu contoh yang kembali mencuat adalah dugaan penggelapan barang bukti senilai setengah miliar rupiah dalam perkara investasi robot trading yang melibatkan mantan Kajari Jakarta Barat, Hendri Antoro.
Kasus ini, sebagaimana diberitakan Metrotvnews.com, menjadi simbol klasik “pagar makan tanaman” — ketika penegak hukum justru menjadi pelaku pelanggaran.
Selain itu, kasus dugaan keterlibatan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah, dalam jaringan makelar perkara di Mahkamah Agung yang menyeret tersangka Zarof Ricar, juga mendapat sorotan publik.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan tanpa pengawasan bisa membuka peluang penyalahgunaan wewenang.
Dampak dan Tantangan bagi Institusi Penegak Hukum
Putusan ini membuka dua sisi: peluang reformasi dan tantangan koordinasi antar lembaga.
Peluangnya, menurut para pakar, adalah memperkuat akuntabilitas dan transparansi di tubuh Kejaksaan. KPK dan Polri kini dapat bertindak lebih cepat tanpa terhambat birokrasi izin.
Namun di sisi lain, tantangan muncul dari potensi konflik antarlembaga dan risiko kriminalisasi jika prosedur hukum tidak dijalankan dengan hati-hati.
Kejaksaan Agung melalui juru bicara-nya menyatakan akan menghormati putusan MK tersebut, namun menegaskan bahwa mekanisme pemeriksaan jaksa tetap perlu dilakukan secara proporsional agar tidak menimbulkan ketegangan institusional.
Sebagaimana dilaporkan Tempo.co, pihak Kejaksaan masih menekankan pentingnya tata kelola internal untuk menjaga kehormatan profesi jaksa.
Momentum Bersih-Bersih Lembaga Hukum
Dengan dihapusnya “imunitas” tersebut, publik menaruh harapan besar agar tidak ada lagi ruang bagi jaksa yang menyalahgunakan wewenang.
Para pengamat menyebut langkah MK ini sebagai momentum bersih-bersih lembaga penegak hukum, di mana semua aparat harus tunduk pada hukum yang sama.
Jika dijalankan secara konsisten, putusan ini bisa menjadi tonggak sejarah baru dalam sistem hukum Indonesia: memperkuat prinsip rule of law dan menegaskan bahwa tidak ada institusi, termasuk Kejaksaan, yang berada di atas hukum.