top of page

Sah! Mahkamah Konstitusi Putuskan untuk Gratiskan Sekolah Swasta demi Berjalannya Program Wajib Belajar


Illustrasi anak sekolah berkumpul. Dok: Istimewa
Illustrasi anak sekolah berkumpul. Dok: Istimewa

Pada Selasa (27/05), Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan yang mewajibkan negara untuk menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun mulai dari SD sampai SMP. Putusan ini berawal dari Permohonan dengan Nomor 3/PUU-XXIII/2025 yang dilakukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, sebuah lembaga masyarakat sipil, yang disertai oleh tiga pemohon individual yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.


Adapun yang menjadi sorotan dalam Putusan yang memiliki Nomor 3/PUU-XXII/2024 adalah potongan amar putusan yang menyatakan:


“Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”;  


Singkatnya, potongan amar putusan tersebut mengabulkan sebagian permohonan uji materi terkait frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” yang tercantum dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). 


Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah harus membebaskan biaya pendidikan dasar yang diselenggarakan mulai dari sekolah dasar, menengah pertama, dan madrasah atau sederajat, baik itu negeri maupun swasta.


Dalam pertimbangan hukum yang diajukan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbangsih, menilai bahwa frasa yang ada pada pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang hanya berlaku secara eksplisit untuk sekolah negeri dapat menimbulkan kesenjangan akses atas pendidikan dasar.


Adapun kesenjangan akses yang dimaksud adalah para peserta didik yang terpaksa bersekolah di sekolah/madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri. Secara faktual masih terdapat peserta didik yang melaksanakan kewajibannya mengikuti pendidikan dasar pada satuan pendidikan yang tidak dikelola negara (sekolah/madrasah swasta) dengan harus membayar sejumlah biaya untuk dapat mengikuti pendidikan tersebut.


Dalam kondisi seperti ini, negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan tidak ada peserta didik yang terhambat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya karena faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.


Berdasarkan pada fakta ini, Mahkamah berpendapat terjadi ketidaksesuaian dengan apa yang diperintahkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Ketentuan itu tidak memberi batasan mengenai pendidikan dasar mana yang wajib dibiayai negara. Norma yang ditimbulkan oleh konstitusi mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar warga negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar.


Untuk menjamin hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, negara wajib menyediakan kebijakan yang berupa subsidi atau bantuan biaya pendidikan bagi masyarakat yang hanya memiliki pilihan untuk bersekolah di sekolah/madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.


Apakah Putusan ini Langsung Bisa Dijalankan?

Namun, perlu diingat bahwa dikarenakan putusan MK ini bermaksud untuk merubah sebuah pasal di peraturan perundang-undangan. Tidak serta-merta putusan ini dapat langsung diterapkan dalam sistem pendidikan Indonesia.

Ada tahapan lain yang perlu dilalui agar putusan ini dapat berlaku:


  1. Proses Legislatif di DPR: Pemerintah bersama DPR kemudian akan membahas perubahan atau revisi tersebut dalam proses legislasi yang melibatkan perumusan, pembahasan, dan pengesahan undang-undang baru atau perubahan atas undang-undang yang ada.

  2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu): Dalam keadaan mendesak, pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk segera mengubah peraturan yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi, meskipun Perppu tetap memerlukan persetujuan DPR.

bottom of page