Banyak perusahaan menganggap force majeure sebagai solusi instan ketika kewajiban kontrak tidak dapat dipenuhi. Padahal, penerapannya tidak sesederhana menyebut adanya “keadaan kahar”, Pengadilan menuntut bukti, hubungan sebab-akibat, dan itikad baik dari pihak yang mengklaim.
Artikel ini akan membahas sejauh mana force majeure dapat digunakan secara sah dalam hubungan bisnis.
Unsur-Unsur Force Majeure
Berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), force majeure terjadi ketika suatu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya karena peristiwa di luar kehendaknya yang tidak dapat diprediksi, dihindari, maupun dipertanggungjawabkan kepadanya. Menurut Munir Fuady dalam Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (2003), terdapat empat unsur utama force majeure:
- Peristiwa di luar kekuasaan para pihak;
- Peristiwa tidak dapat diduga sebelumnya;
- Peristiwa tidak dapat dihindari;
- Tidak ada unsur kesalahan atau kelalaian.
Sejauh Mana Force Majeure Dapat Diterapkan
Berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, pihak yang tidak dapat memenuhi prestasinya karena keadaan kahar hanya akan dibebaskan dari kewajiban ganti rugi apabila dapat membuktikan bahwa kegagalan tersebut benar-benar disebabkan oleh peristiwa di luar kendalinya dan bukan karena kelalaian.
Penerapan force majeure juga harus memperhatikan prinsip itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Artinya, pihak yang mengklaim force majeure wajib menunjukkan bahwa ia telah berusaha untuk melaksanakan kewajibannya dan bukan menggunakan keadaan tersebut sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab.
Menurut Subekti dalam Hukum Perjanjian (1984), force majeure hanya dapat diterapkan ketika peristiwa tersebut menjadikan pelaksanaan kewajiban kontraktual mustahil, bukan sekadar sulit atau merugikan secara ekonomi.
Misalnya, bencana alam yang menghancurkan fasilitas produksi dapat menjadi dasar keadaan kahar atau force majeure, sedangkan kenaikan harga bahan baku atau keterlambatan pengiriman karena faktor internal tidak termasuk di dalamnya.
Selain itu, Putusan Mahkamah Agung No. 3655 K/Pdt/1985 menegaskan bahwa pembuktian adanya force majeure harus dilakukan secara objektif dan disertai bukti konkret. Artinya, pihak yang mengklaim force majeure wajib menunjukkan hubungan sebab-akibat antara peristiwa tersebut dan kegagalan pelaksanaan kewajiban kontrak.
Strategi Korporasi dalam Mengatur Klausul Force Majeure
Rumuskan Klausul dengan Spesifik dan Tidak Umum
Menurut Munir Fuady dalam Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (2003), klausul force majeure sebaiknya tidak hanya mencantumkan istilah “keadaan kahar” tanpa penjelasan. Daftar peristiwa harus dijabarkan secara konkret misalnya bencana alam, kebakaran, perang, kerusuhan, pemogokan massal, kebijakan pemerintah, gangguan transportasi, atau pandemi. Dengan perincian seperti ini, potensi multitafsir dapat diminimalisir.
Cantumkan Mekanisme Pemberitahuan dan Batas Waktu
Berdasarkan praktik kontrak internasional seperti UNIDROIT Principles (2016) dan CISG Article 79, pihak yang terdampak force majeure wajib memberikan pemberitahuan tertulis dalam jangka waktu tertentu (biasanya 7–14 hari sejak peristiwa terjadi). Pemberitahuan ini menjadi bukti itikad baik dan dasar penilaian apakah pihak tersebut benar-benar tidak dapat melaksanakan kewajibannya.
Tentukan Akibat Hukum secara Jelas
Klausul force majeure sebaiknya menjelaskan akibat hukum dari keadaan tersebut. Misalnya, apakah akan menunda kewajiban, membebaskan sebagian tanggung jawab, atau memberi hak bagi salah satu pihak untuk mengakhiri kontrak jika keadaan kahar berlangsung lama. Ketentuan ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan mencegah perbedaan tafsir saat terjadi sengketa.
Atur Kewajiban Mitigasi dan Itikad Baik
Prinsip itikad baik (good faith) sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata harus tetap menjadi dasar dalam pelaksanaan kontrak. Artinya, meskipun terjadi force majeure, pihak yang terdampak tetap wajib berupaya meminimalkan kerugian pihak lain misalnya dengan mencari alternatif pelaksanaan kewajiban atau solusi sementara. Klausul mitigasi ini mencerminkan profesionalisme dan tanggung jawab perusahaan.
Selaraskan dengan Hukum Nasional dan Standar Internasional
Setiap perusahaan perlu memastikan bahwa klausul force majeure yang digunakan sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia (Pasal 1244–1245 KUH Perdata) serta praktik terbaik internasional seperti UNIDROIT Principles atau CISG. Hal ini penting terutama untuk kontrak lintas negara agar tidak terjadi pertentangan yurisdiksi atau perbedaan interpretasi hukum.
Libatkan Tim Legal dan Lakukan Review Berkala
Dalam praktik korporasi, penyusunan klausul force majeure tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh tim bisnis. Perlu keterlibatan divisi legal atau konsultan hukum eksternal untuk memastikan klausul tersebut proporsional dan efektif.
Selain itu, perusahaan juga sebaiknya melakukan review secara berkala terhadap kontrak yang sedang berjalan terutama jika terjadi perubahan kondisi global, kebijakan pemerintah, atau risiko baru dalam bisnis.
Baca Juga: Ingin Buat Kontrak? Ini Klausul Penting yang Wajib Diketahui
Kesimpulan
Setiap kontrak bisnis membutuhkan perlindungan hukum yang jelas termasuk dalam menghadapi force majeure. Jangan biarkan ketidakpastian hukum mengancam stabilitas perusahaan Anda. Diskusikan kontrak dan risiko hukumnya langsung dengan mitra advokat profesional melalui Hukumku, layanan konsultasi hukum online yang cepat, aman, dan terpercaya.
