Sistem hukum dunia mencerminkan keragaman pendekatan dalam menegakkan keadilan di berbagai negara. Dari common law yang berbasis preseden, hingga civil law yang mengandalkan kodifikasi, setiap sistem memiliki karakteristik unik yang memengaruhi segala praktik hukum.
Untuk itu, artikel ini akan membahas empat sistem hukum di dunia yang harus dipahami oleh advokat. Simak pembahasan selengkapnya.
Sistem Hukum Dunia: Civil Law (Eropa Kontinental)
Sistem hukum Civil Law atau Eropa Kontinental merupakan salah satu sistem hukum tertua dan paling berpengaruh di dunia. Sistem ini berakar dari hukum Romawi (Roman Law) yang kemudian berkembang di daratan Eropa.
Karakter utam Civil Law adalah bahwa hukum tertulis (undang-undang) menjadi sumber hukum utama, sementara peran hakim terbatas pada penerapan hukum, bukan menciptakan hukum baru.
Menurut R. Subekti dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (1985), sistem Civil Law menempatkan undang-undang sebagai pedoman utama dalam menegakkan keadilan. Hakim tidak bebas menafsirkan hukum tanpa dasar peraturan yang jelas, karena tugasnya adalah memastikan bahwa keputusan diambil berdasarkan ketentuan yang telah dikodifikasikan. Inilah yang membedakan Civil Law dari sistem Common Law, di mana putusan hakim bisa menjadi sumber hukum baru (judge-made law).
Melansir LSU Law, berikut adalah negara di Asia yang menganut sistem Civil Law:
- Indonesia
- Jepang
- Kyrgyzstan
- Lebanon
Pengaruhnya terhadap Indonesia datang melalui penjajahan Belanda, yang membawa sistem hukum kontinental dan kemudian menjadi dasar penyusunan KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan KUH Pidana (Wetboek van Strafrecht).
Kelebihan sistem Civil Law atau hukum perdata adalah tingginya kepastian hukum, karena setiap tindakan hukum memiliki dasar tertulis yang jelas. Namun, kelemahannya terletak pada kurangnya fleksibilitas, karena hakim tidak dapat mengadaptasi hukum dengan cepat terhadap perkembangan sosial atau situasi baru. Oleh karena itu, dalam praktik modern, beberapa negara Civil Law kini mulai memberi ruang bagi yurisprudensi (putusan hakim) sebagai bahan pertimbangan dalam proses peradilan.
Sistem Hukum Common Law (Anglo-Saxon)
Sistem hukum Common Law berasal dari Inggris dan berkembang di negara-negara bekas koloninya seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada. Berbeda dengan sistem Civil Law yang bertumpu pada undang-undang tertulis, sistem ini menjadikan putusan pengadilan sebelumnya (precedent atau case law) sebagai sumber hukum utama. Dengan demikian, putusan hakim memiliki kekuatan mengikat dan menjadi rujukan bagi perkara serupa di masa mendatang.
Menurut Frederick Schauer dalam karyanya Thinking Like a Lawyer (2009), sistem Common Law menempatkan hakim bukan hanya sebagai penegak hukum, tetapi juga pencipta hukum melalui interpretasi kasus. Pendekatan ini membuat hukum berkembang secara dinamis seiring perubahan sosial dan ekonomi masyarakat.
Baca Juga: Kenali Jenis-jenis Golongan Hukum di Indonesia
Kelebihan sistem Common Law terletak pada fleksibilitas dan kemampuan adaptasi, karena hukum dapat berkembang tanpa harus menunggu pembentukan undang-undang baru. Namun, kelemahannya adalah potensi ketidakpastian, sebab putusan antar hakim bisa berbeda tergantung pada interpretasi masing-masing terhadap kasus serupa.
Sistem Hukum Religious Law (Hukum Agama)
Sistem hukum Religious Law atau hukum agama bersumber dari ajaran keagamaan yang dianggap sebagai hukum ilahi. Hukum ini tidak hanya mengatur hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Bentuk paling dikenal dari sistem ini adalah sebagai berikut:
- Hukum Islam (Syariah),
- Hukum Kanon Katolik,
- Hukum Yahudi (Halakha).
Dalam konteks Islam, hukum syariah bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, yang kemudian dikembangkan melalui ilmu fiqih. Menurut Hazairin dalam Hukum Islam dan Masyarakat (1983), hukum agama berperan tidak hanya sebagai pedoman hukum, tetapi juga sebagai sistem moral dan sosial yang membentuk perilaku umat.
Negara yang menerapkan sistem ini secara dominan antara lain Arab Saudi, Iran, dan Pakistan. Di Indonesia, prinsip hukum agama (terutama Islam) juga diakomodasi dalam beberapa sektor hukum nasional, seperti:
- Peradilan agama
- Perbankan syariah
- Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.
Keunikan sistem Religious Law terletak pada tujuannya yang tidak hanya mencari keadilan hukum, tetapi juga keadilan spiritual dan moral, yang mana akan menjadikan sistem hukum yang berakar kuat pada nilai keimanan dan etika.
Sistem Hukum Adat (Customary Law)
Sistem hukum Adat (Customary Law) bersumber dari kebiasaan dan norma sosial yang tumbuh dan hidup di tengah masyarakat. Hukum adat tidak tertulis dalam undang-undang, tetapi diakui dan ditaati karena memiliki kekuatan moral dan sosial yang kuat. Menurut Soepomo dalam Sistem Hukum di Indonesia (1948), hukum adat adalah hukum yang lahir dari jiwa bangsa dan mencerminkan nilai-nilai kolektif masyarakat setempat.
Ciri utama hukum adat adalah fleksibilitas dan dinamika, karena ia dapat menyesuaikan diri dengan perubahan sosial tanpa kehilangan esensinya. Hukum adat sering kali menekankan musyawarah dan keadilan sosial, bukan semata-mata kepastian hukum formal.
Di Indonesia, keberadaan hukum adat diakui secara konstitusional dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI. Hukum adat juga menjadi dasar dalam berbagai bidang, seperti hukum waris, tanah, dan penyelesaian sengketa komunitas lokal.
Baca Juga: Penerapan Asas In Dubio Pro Reo Ketika Hakim Ragu
Kesimpulan
Empat sistem hukum dunia menunjukkan bahwa keadilan dapat hadir dalam banyak bentuk, tetapi tujuan akhirnya tetap sama: melindungi hak dan menegakkan kebenaran.
Sebagai advokat, memahami ragam sistem ini berarti memahami cara dunia berpikir tentang hukum. Dengan Legal Hero, Anda dapat menelusuri jutaan putusan, regulasi, dan referensi hukum dari berbagai sumber secara cepat dan akurat — membantu Anda berpikir lebih strategis di setiap kasus. Kunjungi https://legalhero.id untuk info selengkapnya.
