Perkara perdata dan niaga kini semakin kompleks akibat digitalisasi transaksi. Kontrak dilakukan lewat email, komunikasi lewat WhatsApp, dan pembayaran lewat platform daring. Semua jejak digital ini berpotensi menjadi alat bukti elektronik yang sah menurut hukum.
Artikel ini membahas strategi konkret untuk mengoptimalkan kekuatan bukti elektronik di ruang sidang.
Dasar Hukum Pengakuan Bukti Elektronik
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE);
Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.”
Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) menegaskan bahwa bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia, termasuk hukum acara perdata. Dengan demikian, keberadaan dokumen elektronik memiliki kedudukan setara dengan dokumen konvensional (tertulis) sebagaimana diatur dalam Pasal 164 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengakui “surat” sebagai alat bukti pertama dalam perkara perdata.
- Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik;
Pasal 19 ayat (1) Perma tersebut menyebutkan bahwa:
“Dokumen elektronik yang diajukan melalui sistem informasi pengadilan dianggap sah sebagai alat bukti apabila sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dengan demikian, pengadilan telah secara resmi membuka pintu bagi penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian, tidak hanya dalam perkara perdata umum tetapi juga perkara niaga seperti kepailitan, PKPU, dan sengketa komersial lainnya.
Tantangan dalam Mengajukan Bukti Elektronik di Pengadilan
Meski diakui undang-undang, bukti elektronik tidak selalu diterima otomatis oleh majelis hakim. Ada sejumlah tantangan yang kerap muncul:
- Keaslian (authenticity) – apakah bukti tersebut benar berasal dari sumber yang sah?
- Integritas (integrity) – apakah data telah dimodifikasi atau diubah?
- Admissibility (keterterimaan) – apakah diperoleh dan diajukan sesuai prosedur hukum?
- Relevansi (relevance) – apakah bukti mendukung dalil gugatan atau pembelaan?
Hakim sering menolak bukti elektronik jika tidak disertai penjelasan teknis atau pembuktian ahli. Misalnya, screenshot tanpa metadata sering dianggap lemah karena mudah dimanipulasi
Strategi Advokat dalam Menyusun dan Mengajukan Bukti Elektronik
Untuk memastikan bukti elektronik dapat diterima dan memiliki bobot pembuktian kuat, advokat dapat menerapkan beberapa strategi berikut:
- Klasifikasikan Bukti Sejak Awal
Identifikasi sejak awal jenis bukti digital yang relevan dengan pokok sengketa:
- Komunikasi elektronik (email, chat WhatsApp, atau pesan platform bisnis);
- Bukti transaksi (invoice digital, e-receipt, sistem payment gateway);
- Dokumen kontrak elektronik (e-contract dengan tanda tangan digital).
- Jaga Keaslian dan Integritas Bukti
Gunakan metadata, hash value, atau sertifikat elektronik untuk memastikan keaslian. Jika diperlukan, mintalah dukungan ahli forensik digital untuk memastikan bahwa bukti tidak dimodifikasi sejak diperoleh.
- Dokumentasikan Chain of Custody
Pastikan setiap langkah pengumpulan bukti memiliki catatan waktu, lokasi, dan pihak yang terlibat. Prinsip chain of custody ini membantu membuktikan bahwa bukti diperoleh secara sah dan tidak berubah sejak pertama kali diambil.
- Siapkan Bukti Pendukung
Gabungkan bukti elektronik dengan alat bukti lain seperti:
- Keterangan saksi atau ahli IT,
- Rekaman log sistem atau audit trail,
- Konfirmasi dari pihak ketiga (notaris, penyedia layanan digital, dsb).
- Sesuaikan dengan Sistem e-Court
Gunakan platform e-Court dan e-Litigation sesuai format yang ditentukan pengadilan. Pastikan ukuran file, format (PDF/A), dan kelengkapan lampiran sesuai ketentuan administratif agar tidak ditolak secara teknis.
Baca juga: Ini Pembuktian Terbalik dalam Hukum Perdata
Kesimpulan
Keberhasilan sebuah perkara sering kali bergantung pada seberapa kuat Anda membangun fondasi bukti. Dengan bukti elektronik yang disusun cermat, diverifikasi dengan baik, dan didukung analisis hukum yang akurat, posisi Anda di ruang sidang akan semakin solid.
Mulailah menggunakan Legal Hero — platform riset hukum yang dapat membantu Anda menelusuri jutaan dokumen hukum dan putusan pengadilan relevan, hingga insight berbasis AI untuk setiap strategi pembuktian.
