Platform Riset Hukum Berbasis AI
Mengapa dua pelaku kejahatan yang serupa bisa mendapat hukuman yang berbeda? Fenomena ini dikenal sebagai disparitas putusan. Dalam praktik peradilan, disparitas bukan sekadar soal perbedaan, tapi menyangkut keadilan, konsistensi, dan kepastian hukum.
Artikel ini akan membahas apa itu disparitas putusan dan syarat sah penerapannya dalam hukum pidana Indonesia.
Apa Itu Disparitas Putusan?
Disparitas putusan merujuk pada kondisi ketika dua atau lebih perkara pidana yang memiliki kesamaan dalam hal perbuatan, modus, dan pasal yang dilanggar, tetapi dijatuhi putusan yang berbeda secara signifikan oleh pengadilan.
Perbedaan hukuman yang diterima bisa berupa berat ringannya pidana atau bentuk sanksi tambahan yang menyertainya.
Baca Juga: Jenis Putusan Pengadilan Berdasarkan Sifatnya
Berbeda dengan arbitrariness atau putusan sewenang-wenang, hal ini terjadi ketika perbedaan putusan tidak didasarkan pada alasan hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Bagi advokat, memahami akar dan pembenar dari perbedaan ini sangat penting, baik untuk menyusun strategi pembelaan, mengajukan upaya hukum, maupun membangun argumentasi banding atau kasasi berbasis prinsip kesetaraan di depan hukum (equality before the law).
Dasar Hukum Disparitas Putusan
Meskipun istilah “disparitas putusan” tidak secara eksplisit diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), namun prinsip-prinsip yang melandasinya dapat ditemukan dalam berbagai peraturan dan dokumen yudisial yang menegaskan pentingnya konsistensi, keadilan, dan kepastian hukum dalam setiap putusan. Berikut beberapa dasar hukum yang relevan:
- Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP
Pasal ini mensyaratkan bahwa putusan pengadilan harus mencantumkan alasan dan dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Ini menjadi dasar bagi pentingnya transparansi dan argumentasi rasional atas putusan yang dijatuhkan, termasuk jika berbeda dengan perkara sejenis.
- Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini memberi ruang diskresi kepada hakim, namun tetap dibatasi oleh prinsip keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Faktor yang Mempengaruhi
Berikut beberapa faktor utama yang sering memengaruhi munculnya disparitas:
- Peran Terdakwa dalam Kejahatan
Hakim berhak mempertimbangkan apakah seorang terdakwa merupakan pelaku utama (actor intellectualis), pelaku eksekutor, atau hanya berperan sebagai pembantu (accessory). Dalam satu perkara yang melibatkan beberapa orang, disparitas bisa muncul karena peran masing-masing tidak setara.
- Latar Belakang dan Kondisi Terdakwa
Setiap terdakwa membawa latar belakang yang berbeda, seperti usia, tingkat pendidikan, riwayat tindak pidana sebelumnya (residivis atau bukan), kondisi kesehatan, tanggungan keluarga, hingga sikap kooperatif selama proses persidangan. Hal-hal ini dapat menjadi faktor yang memperingan atau memperberat pidana.
- Kekuatan Alat Bukti di Persidangan
Meskipun perkara serupa, alat bukti yang dihadirkan dalam masing-masing perkara bisa berbeda kualitas dan kelengkapannya. Perkara dengan alat bukti yang kuat dan saling mendukung akan memberi keyakinan lebih kepada hakim, dibanding perkara dengan bukti yang lemah atau tidak saling terkait.
- Sikap Terdakwa Selama Proses Hukum
Terdakwa yang menunjukkan sikap kooperatif, mengakui kesalahan, serta menyesali perbuatannya biasanya mendapat pertimbangan meringankan dalam amar putusan. Sebaliknya, terdakwa yang berkelit, tidak menunjukkan penyesalan, atau berperilaku tidak sopan selama persidangan dapat dipertimbangkan untuk dijatuhi pidana yang lebih berat.
- Penilaian Hakim yang Bersifat Subjektif tapi Sah
Hakim memang punya kebebasan terbatas untuk menilai suatu perkara. Selama pertimbangannya masuk akal dan sesuai fakta di persidangan, hakim boleh memberikan putusan berbeda. Inilah yang disebut diskresi hakim, penilaian profesional berdasarkan hukum dan rasa keadilan.
Kapan Disparitas Dianggap Sah dan Kapan Disparitas Dapat Dipermasalahkan Secara Hukum?
Dalam hukum, disparitas dianggap sah atau wajar apabila putusan berbeda itu didasarkan pada alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Misalnya, ketika terdakwa memiliki peran berbeda dalam kejahatan (pelaku utama vs pembantu), tingkat kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan tidak sama, atau ada perbedaan kondisi pribadi dan sikap terdakwa di persidangan.
Sebaliknya, disparitas menjadi masalah hukum ketika perbedaan vonis muncul tanpa dasar yang kuat. Contohnya, dua terdakwa dengan kasus, peran, dan bukti yang sama, tetapi vonisnya sangat jauh berbeda tanpa alasan yang memadai.
Kondisi seperti itu bisa menimbulkan kesan sewenang-wenang, melanggar prinsip kesetaraan di depan hukum (equality before the law), dan berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap peradilan.
Mau Riset Hukum dengan AI? Gunakan Legal Hero!
Untuk menunjang analisis hukum yang lebih cepat dan akurat, kini tersedia Legal Hero, platform riset hukum berbasis AI yang memberikan akses ke jutaan dokumen hukum lengkap, disertai kemampuan untuk meringkas dokumen hukum dengan cepat.
Dengan Legal Hero, advokat dapat menemukan putusan relevan, membandingkan pola vonis, dan merumuskan argumentasi hukum dengan lebih efisien.
