Platform Riset Hukum Berbasis AI
Eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia bukanlah proses yang mudah. Meski putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, pelaksanaannya di yurisdiksi Indonesia memerlukan tahapan hukum tertentu yang harus dipenuhi sesuai aturan nasional dan internasional.
Jika Anda adalah praktisi hukum atau pelaku bisnis internasional, penting untuk memahami bagaimana proses eksekusi ini bekerja di Indonesia. Artikel ini akan mengulas langkah-langkah hukumnya secara sistematis.
Syarat Pengakuan dan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk eksekusi pengadilan internasional, baik yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun melalui Konvensi New York 1958 yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Berikut adalah ketentuan penting yang perlu diperhatikan:
Negara Asal Putusan Harus Merupakan Peserta Konvensi New York
Pasal 66 huruf a UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui jika dibuat di negara yang bersama-sama dengan Indonesia menjadi pihak pada perjanjian internasional mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional (dalam hal ini Konvensi New York 1958). Artinya, jika negara asal putusan bukan pihak dalam Konvensi New York, putusan tersebut tidak dapat dimohonkan eksekusinya di Indonesia.
Putusan Tidak Boleh Bertentangan dengan Ketertiban Umum
Pasal 66 huruf c UU No. 30 Tahun 1999 menegaskan bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat diakui dan dilaksanakan jika tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) di Indonesia. Istilah ketertiban umum sering menjadi alasan klasik dalam praktik, dan dapat dimaknai luas, mulai dari nilai hukum, moral, hingga kepentingan nasional.
Putusan Harus Final dan Mengikat
Pasal 66 huruf b UU No. 30 Tahun 1999 menegaskan bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat dieksekusi jika bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya, tidak boleh ada upaya hukum lain di negara asal yang masih terbuka untuk mengubah putusan tersebut.
Memerlukan Izin Eksekusi (Exequatur) dari Mahkamah Agung
Pasal 67 UU No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional hanya dapat diberikan setelah mendapat izin eksekusi (exequatur) dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Permohonan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan salinan resmi putusan arbitrase, perjanjian arbitrase, dan terjemahan resmi dalam bahasa Indonesia.
Didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 mengatur bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat dieksekusi di Indonesia setelah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan negeri di luar Jakarta Pusat tidak berwenang menerima pendaftaran putusan arbitrase internasional.
Tahapan Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia
Eksekusi putusan arbitrase internasional di Indonesia memiliki alur yang berbeda dengan putusan pengadilan lokal. Setelah putusan arbitrase dijatuhkan oleh lembaga arbitrase di luar negeri, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendaftarkan putusan tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Setelah didaftarkan, pihak yang berkepentingan harus mengajukan permohonan exequatur atau izin pelaksanaan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Mahkamah Agung kemudian akan melakukan pemeriksaan, bukan pada pokok perkara, tetapi hanya pada syarat-syarat formal, seperti apakah negara asal putusan juga merupakan pihak dalam Konvensi New York 1958, apakah putusan bersifat final dan mengikat, serta apakah putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999.
Apabila Mahkamah Agung menilai seluruh persyaratan terpenuhi, maka lembaga ini akan menerbitkan penetapan exequatur.
Dengan adanya penetapan tersebut, putusan arbitrase internasional memperoleh kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan Indonesia.
Tahap berikutnya, pelaksanaan eksekusi dilakukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan mekanisme eksekusi sebagaimana lazimnya berlaku dalam hukum acara perdata.
Kendala dalam Praktiknya
Public Policy Exception sering dipakai sebagai alasan menolak eksekusi. Karena pengertian “ketertiban umum” tidak didefinisikan secara tegas, ruang tafsirnya sangat luas. Hal ini sering dimanfaatkan oleh pihak yang kalah untuk menunda atau bahkan menggagalkan eksekusi dengan alasan bahwa putusan arbitrase melanggar nilai hukum atau kepentingan nasional.
Selain itu, proses permohonan exequatur ke Mahkamah Agung memerlukan tahapan administratif yang ketat, dan tidak jarang berlangsung cukup lama. Padahal, salah satu alasan dipilihnya arbitrase adalah untuk menyelesaikan sengketa secara cepat. Ketika proses eksekusi berlarut-larut, nilai efisiensi arbitrase menjadi berkurang.
Di sisi lain, banyak pihak asing yang mengira bahwa putusan arbitrase internasional otomatis dapat berlaku tanpa proses tambahan. Akibatnya, klien sering datang kepada advokat lokal setelah menghadapi hambatan eksekusi, sehingga memerlukan strategi hukum tambahan untuk melanjutkan proses.
Kendala lainnya adalah resistensi dari pihak yang kalah, yang kerap mengajukan perlawanan hukum atau upaya non-litigasi untuk menghambat pelaksanaan putusan. Praktik ini semakin memperumit posisi advokat, karena selain mengurus prosedur formal eksekusi, mereka juga harus menyiapkan argumen hukum untuk menangkis berbagai upaya penundaan tersebut.
Dengan Legal Hero, Anda dapat memperdalam kajian melalui akses ke jutaan dokumen hukum, yurisprudensi, dan regulasi terbaru, sehingga analisis arbitrase dapat dilakukan dengan lebih sistematis dan terarah.
