Sengketa kepabeanan sering muncul akibat perbedaan penafsiran nilai pabean, klasifikasi barang, atau asal barang. Bagaimana jika klien Anda dikenai sanksi miliaran rupiah karena perbedaan interpretasi tarif bea masuk?
Dalam situasi seperti ini, peran advokat sangat penting untuk memastikan hak dan kepentingan klien terlindungi melalui strategi hukum yang tepat. Artikel ini akan membahas bagaimana cara menangani sengketa kepabeanan di Indonesia.
Jenis Sengketa Kepabeanan yang Umum Terjadi
Sengketa kepabeanan terjadi ketika importir atau eksportir berselisih dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mengenai penetapan kewajiban pabean.
Berdasarkan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, sengketa ini muncul akibat perbedaan tafsir dalam penerapan ketentuan kepabeanan, khususnya terkait nilai, asal, atau klasifikasi barang.
- Sengketa Penetapan Nilai Pabean (Customs Valuation Dispute), yaitu perbedaan pandangan antara importir dan DJBC mengenai harga transaksi yang menjadi dasar perhitungan bea masuk. Berdasarkan Pasal 15 UU Kepabeanan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 160/PMK.04/2010, nilai pabean seharusnya didasarkan pada harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar oleh importir. Namun, dalam praktiknya, DJBC sering menilai terdapat unsur manipulasi harga atau hubungan istimewa antar pihak, sehingga menyesuaikan nilai pabean dan menimbulkan keberatan dari importir.
- Sengketa Klasifikasi Barang (Tariff Classification Dispute), yang timbul karena perbedaan penentuan kode HS (Harmonized System) yang berpengaruh pada besaran tarif bea masuk. Misalnya, apakah suatu produk elektronik tertentu masuk kategori suku cadang atau produk jadi. Sengketa ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 6/PMK.010/2017 tentang Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.
- Sengketa Asal Barang (Rules of Origin Dispute), ketika keabsahan Certificate of Origin dipersoalkan sehingga fasilitas tarif preferensi dibatalkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 229/PMK.04/2017, barang impor yang berasal dari negara mitra perjanjian perdagangan bebas berhak atas tarif preferensi, sepanjang memenuhi ketentuan asal barang (rules of origin). Namun, jika DJBC menilai dokumen Certificate of Origin (COO) tidak valid, importir dapat kehilangan hak atas tarif preferensi dan dikenai bea masuk penuh.
- Sengketa Sanksi Administrasi dan Denda Kepabeanan, yang muncul ketika importir dikenakan denda atau penalti atas dugaan pelanggaran administratif kepabeanan. Berdasarkan Pasal 16 dan 17 UU Kepabeanan, sanksi dapat berupa denda, penundaan pelayanan, hingga penegahan barang. Namun, dalam banyak kasus, importir mengajukan keberatan karena menilai pelanggaran yang dituduhkan bersifat administratif dan tidak menyebabkan kerugian negara secara langsung.
Prosedur Penyelesaian Sengketa Kepabeanan
- Tahap Keberatan (Administratif)
Keberatan diajukan oleh importir atau kuasanya kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas surat penetapan yang diterbitkan pejabat Bea dan Cukai. Berdasarkan Pasal 93 ayat (2) UU Kepabeanan, keberatan harus diajukan secara tertulis dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal surat penetapan diterima.
Importir wajib melampirkan bukti dokumen pendukung seperti invoice, bill of lading, packing list, serta bukti pembayaran untuk memperkuat argumennya. Selanjutnya, DJBC wajib memberikan keputusan dalam waktu 60 hari sejak permohonan diterima. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada keputusan, maka keberatan dianggap diterima secara hukum (fiktif positif).
- Tahap Banding (Judicial)
Jika hasil keputusan keberatan tidak memuaskan, dalam Pasal 95 UU Kepabeanan serta Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diatur bahwa pihak importir dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
Permohonan banding harus diajukan paling lambat 60 hari setelah keputusan keberatan diterima. Dalam proses ini, Pengadilan Pajak akan memeriksa ulang bukti, mendengar keterangan para pihak, dan memutus sengketa berdasarkan asas keadilan dan kepastian hukum.
- Upaya Hukum Lanjutan
Apabila putusan Pengadilan Pajak masih dianggap tidak adil, advokat dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Namun, PK hanya dapat diajukan atas dasar adanya bukti baru (novum) atau kekeliruan penerapan hukum dalam putusan sebelumnya.
Baca Juga: Ekspor dan Impor di Indonesia: Pengertian, Dasar Hukum, Prosedur, dan Syaratnya
Kesimpulan
Sengketa kepabeanan bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut prinsip keadilan ekonomi dan kepastian hukum dalam perdagangan internasional. Menangani sengketa kepabeanan menuntut ketelitian, pemahaman teknis, dan kemampuan riset hukum yang mendalam.
Dengan Legal Hero, kalian dapat menelusuri peraturan, putusan, dan analisis hukum terbaru dengan cepat, memastikan setiap strategi hukum yang Anda susun berdiri di atas dasar hukum yang kuat.
