Selama puluhan tahun, girik menjadi salah satu dokumen yang paling sering dijadikan dasar penguasaan tanah di Indonesia. Meskipun secara hukum tidak pernah diakui sebagai bukti kepemilikan, banyak masyarakat yang masih mengandalkannya dalam transaksi dan pembuktian hak.
Namun, arah kebijakan pertanahan kini mulai bergeser. Mulai 2 Februari 2026, dokumen bekas hak adat seperti girik, petok, dan letter C tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan tanah, melainkan hanya sebagai petunjuk administratif untuk pendaftaran. Lalu, bagaimana sebenarnya posisi girik setelah perubahan ini, dan apa yang perlu disiapkan para advokat dalam praktiknya?
Perubahan Regulasi dan Posisi Hukum Girik Saat ini
Secara historis, girik berasal dari sistem administrasi pajak tanah kolonial yang dikenal sebagai landrente. Dokumen ini menunjukkan bahwa seseorang membayar pajak atas sebidang tanah, tetapi tidak pernah menjadi bukti kepemilikan secara hukum.
Namun, girik sering digunakan sebagai dasar transaksi dan bukti kepemilikan, terutama di daerah yang tidak terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Regulasi terbaru mulai menghilangkan ketidakpastian ini. Berdasarkan Pasal 76A Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021, bukti tertulis hak adat seperti girik, petok D, dan surat C hanya berlaku hingga 2 Februari 2026, yaitu lima tahun setelah Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 diundangkan. Setelah tanggal tersebut, dokumen-dokumen ini tidak lagi dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan tanah dan hanya akan berfungsi sebagai referensi administratif untuk pendaftaran.
Kebijakan ini merupakan bagian dari agenda pemerintah untuk menyatukan sistem pertanahan nasional melalui Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan sertifikat elektronik. Dalam praktiknya, BPN mendorong pemilik tanah girik untuk segera mendaftar guna memperoleh sertifikat hukum sebelum batas waktu berakhir.
Strategi Penanganan Kasus Bagi Advokat
Perubahan peraturan terkait girik ini membuat para advokat memerlukan pendekatan baru dalam menangani kasus-kasus tanah. Banyak sengketa tanah bermula dari dokumen-dokumen lama yang tidak terdaftar, dan setelah tahun 2026, bukti berbasis girik akan semakin terbatas. Oleh karena itu, langkah penting pertama adalah memastikan status hukum tanah klien melalui pendaftaran atau konversi hak sebelum batas waktu berakhir.
Dalam praktiknya, pengacara perlu menekankan pentingnya pendaftaran tanah melalui program PTSL bagi pemegang girik. Rute ini relatif lebih sederhana dan cepat dibandingkan mekanisme pengakuan hak setelah tahun 2026.
Namun, jika batas waktu telah berlalu, satu-satunya opsi yang tersedia adalah proses pengakuan hak di kantor pertanahan, yang memerlukan bukti kepemilikan fisik selama minimal 20 tahun, bukti pembayaran pajak, dan pernyataan dari dua saksi yang mengenal sejarah tanah tersebut.
Selain aspek administratif, pengacara juga perlu berhati-hati dalam transaksi yang melibatkan tanah berbasis girik. Idealnya, penjual harus terlebih dahulu memperoleh sertifikat sebelum transfer hak dilakukan.
Hal ini penting untuk melindungi pembeli dari risiko sengketa, terutama jika ada klaim ganda atau tumpang tindih dengan area lain. Dalam kontrak jual beli, pengacara dapat memasukkan syarat bahwa transaksi hanya sah setelah sertifikat hak resmi diterbitkan atas nama penjual.
Di luar jalur litigasi, pendekatan preventif dan mediasi administratif juga perlu dikedepankan. Sengketa tanah sering kali lebih efisien diselesaikan melalui klarifikasi batas bidang, pemeriksaan lapangan, atau keberatan administratif di BPN, daripada langsung dibawa ke pengadilan. Dengan memahami perubahan ini sejak dini, advokat dapat membantu kliennya tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi juga mencegah lahirnya sengketa baru di kemudian hari.
Baca Juga: Kenali Jenis-jenis Asas dalam Hukum Agraria
Telusuri Jutaan Dokumen Hukum dengan Legal Hero!
Legal Hero membantu Anda menelusuri jutaan dokumen hukum, memahami konteks setiap perubahan, dan merumuskan strategi hukum yang lebih cepat, akurat, dan berbasis data.