Union busting sering kali kita dengar dalam hukum ketenagakerjaan, terutama dalam perkara hubungan industrial. Dalam hal ini, serikat pekerja menjadi sebuah wadah bagi buruh untuk bersuara hingga memperjuangkan haknya.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua pihak menyambut keberadaan serikat pekerja dengan tangan terbuka. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan union busting? Bagaimana praktik ini berlangsung dalam hubungan industrial di Indonesia? Dan sejauh mana perlindungan hukum terhadap pekerja sebagai korban praktik tersebut?
Serikat Pekerja dan Praktik Union Busting
Dalam setiap hubungan kerja, keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha sering kali menjadi hal yang paling sulit dijaga. Pekerja menginginkan keamanan, upah yang layak, serta perlakuan yang adil, sedangkan pengusaha berorientasi pada pada efisiensi dan produktivitas. Dari kedua kepentingan itulah serikat pekerja hadir sebagai jembatan untuk menyeimbangkan posisi yang kerap kali tumpang tindih.
Serikat pekerja tidak lahir dari ruang hampa. Ia muncul dari kebutuhan untuk melindungi hak-hak pekerja yang kerap terabaikan ketika suara individu tidak cukup kuat menghadapi kebijakan perusahaan.
Melalui serikat, pekerja bisa memiliki wadah untuk menyampaikan aspirasi, menegosiasikan perjanjian kerja bersama, hingga membangun sistem kerja yang lebih manusiawi. Dengan kata lain, keberadaan serikat pekerja adalah bentuk nyata dari demokrasi di tempat kerja.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua perusahaan menyambut keberadaan serikat pekerja dengan sikap terbuka. Ada kalanya serikat dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas internal atau bahkan hambatan bagi kebijakan manajerial.
Dari pandangan inilah muncul berbagai upaya untuk menekan atau melemahkan peran serikat pekerja, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Fenomena inilah yang dikenal dengan istilah union busting.
Union busting bisa terjadi dalam berbagai bentuk: mulai dari intimidasi terhadap pengurus serikat, pemutusan hubungan kerja tanpa alasan yang jelas, hingga pembentukan serikat tandingan yang lebih “patuh” terhadap perusahaan.
Meskipun terkadang dikemas secara halus, tujuannya sama yaitu membungkam suara kolektif pekerja dan menjaga agar perusahaan tetap berada dalam posisi dominan.
Praktik seperti ini tentu bertentangan dengan semangat hubungan industrial yang sehat dan berkeadilan. Sebab pada dasarnya, serikat pekerja bukan ancaman, melainkan mitra dalam menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban di tempat kerja.
Ketika kebebasan berserikat ditekan, maka yang terancam bukan hanya hak buruh, tetapi juga keadilan sosial yang menjadi dasar hubungan kerja itu sendiri.
Jerat Hukum Praktik Union Busting
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, khususnya dalam Pasal 28, menyatakan dengan jelas bahwa siapa pun dilarang menghalangi atau memaksa pekerja untuk membentuk atau tidak membentuk serikat pekerja.
Larangan ini berlaku tidak hanya bagi pengusaha, tetapi juga pihak mana pun yang menggunakan pengaruh atau kekuasaan untuk menghambat hak berserikat. Larangan ini juga diperkuat dalam Pasal 104 (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota dari serikat pekerja/buruh.
Kemudian Pasal 43 ayat (1) menegaskan bahwa setiap pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dipidana dengan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda Rp. 100.000.000,00 – Rp. 500.000.000,00.
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa union busting telah ditempatkan dalam kategori tindak pidana khusus di bidang ketenagakerjaan dan bukan sekadar pelanggaran administratif atau perdata.
Selain diatur dalam hukum nasional, larangan terhadap praktik yang menghambat kebebasan berserikat pekerja juga terdapat dalam instrumen hukum internasional. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi melalui Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998, serta Konvensi ILO Nomor 98 Tahun 1949 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956.
Meskipun kedua konvensi tersebut tidak secara eksplisit menyebut istilah union busting, substansi pengaturannya melarang tindakan yang identik dengannya, seperti intervensi perusahaan terhadap serikat pekerja, pembentukan serikat tandingan, atau pemutusan hubungan kerja yang dilakukan karena aktivitas serikat.
Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia menegaskan komitmen untuk menjamin kebebasan berserikat sesuai standar internasional yang berlaku.
Baca Juga: Penahanan Ijazah Menurut Hukum
Konsultasi dengan Hukumku Sekarang!
Union busting bukan sekadar pelanggaran etika hubungan kerja, melainkan tindakan yang bisa menjerat pelaku secara hukum. Ketika kebebasan berserikat mulai terancam melalui intimidasi, pemutusan kerja, atau tekanan terhadap pengurus serikat, pekerja sering kali tak tahu harus mulai dari mana.
Hukumku hadir untuk menjembatani Anda dengan advokat profesional berlisensi, memahami posisi hukum Anda, serta menemukan langkah terbaik untuk melindungi hak dan martabat sebagai pekerja. Konsultasi sekarang!