Selama beberapa tahun terakhir, wacana perdagangan karbon di Indonesia sudah sering terdengar, namun baru sekarang kerangka dari hal tersebut mulai benar-benar terbentuk.
Indonesia sendiri sudah mulai membangun fondasi hukumnya lewat Perpres No. 98 Tahun 2021, yang memperkenalkan konsep nilai ekonomi karbon untuk menekan emisi. Kali ini pemerintah mempertegas arah kebijakan itu lewat Perpres No. 110 Tahun 2025. Aturan ini memberi bentuk yang lebih konkret pada sistem perdagangan karbon nasional, sekaligus menjadi sinyal bahwa Indonesia mulai serius menyiapkan pasar karbon yang bisa berjalan dan diawasi secara hukum.
Artikel ini akan membahas secara lebih rinci mengenai urgensi dari perdagangan karbon dan kerangka baru perdagangan karbon itu sendiri yang diperkenalkan melalui Perpres 110 Tahun 2025 serta bagaimana aturan ini menempatkan Indonesia dalam peta kebijakan iklim global.
Perdagangan Karbon dan Urgensinya bagi Indonesia
Perdagangan karbon kini menjadi salah satu instrumen ekonomi utama dalam upaya global menekan emisi gas rumah kaca. Melalui sistem ini, setiap ton emisi yang berhasil dikurangi atau diserap dapat diubah menjadi unit karbon yang memiliki nilai ekonomi dan diperjualbelikan—baik di pasar domestik maupun internasional. Skema seperti ini sudah berjalan di banyak negara: Uni Eropa telah mengoperasikan EU Emission Trading System (ETS) sejak 2005, Korea Selatan sejak 2015, dan Tiongkok meluncurkan pasar karbon nasionalnya pada 2021.
Baca Juga: Menavigasi Regulasi Minyak & Gas di Tengah Arus Transisi Energi Terbarukan
Di Indonesia, perdagangan karbon memiliki arti strategis yang berbeda. Sebagai negara dengan tutupan hutan tropis yang luas dan potensi penyimpanan karbon yang besar, Indonesia memegang peran penting dalam upaya global menekan emisi. Selama ini, sebagian besar inisiatif pengurangan emisi dilakukan melalui program berbasis proyek seperti REDD+ dan konservasi lahan gambut, yang bersifat sukarela dan belum terhubung ke sistem pasar nasional.
Namun, pendekatan berbasis proyek saja tidak cukup untuk mencapai target penurunan emisi yang telah ditetapkan dalam komitmen NDC. Diperlukan instrumen ekonomi yang bisa mengaitkan upaya pengurangan emisi dengan nilai finansial yang jelas serta mekanisme pasar yang transparan. Di sinilah perdagangan karbon menjadi penting dan bukan hanya sebagai alat pengendalian emisi, tetapi juga sebagai sarana memperkuat investasi hijau dan menjadikan aksi iklim sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi.
Kerangka Hukum dalam Perpres Nomor 110 Tahun 2025
Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 menjadi pijakan hukum baru dalam penyelenggaraan perdagangan karbon di Indonesia. Perpres ini melengkapi dan menyempurnakan regulasi sebelumnya, yakni Perpres 98 Tahun 2021, dengan memberikan arah yang lebih konkret mengenai mekanisme pasar karbon domestik.
Salah satu poin penting dalam perpres ini adalah penetapan pendekatan multipilar dalam pelaksanaan nilai ekonomi karbon, yaitu melalui perdagangan karbon, pembayaran berbasis hasil (result-based payment), dan mekanisme non-perdagangan lainnya. Di antara ketiganya, perdagangan karbon diatur secara lebih rinci, termasuk kemungkinan untuk dilakukan secara domestik maupun lintas negara.
Perpres ini juga memperkenalkan sistem Registri Unit Karbon (RUK) yang berdiri terpisah dari sistem sebelumnya (SRN-PPI), sebagai pusat pencatatan aktivitas perdagangan karbon. Tujuannya adalah untuk menjaga transparansi, mencegah perhitungan ganda, dan memastikan kesesuaian dengan standar internasional. Registri ini mencakup data pengurangan emisi, penerbitan unit karbon, serta transaksi jual beli di dalam dan luar negeri.
Dari sisi kelembagaan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tetap menjadi otoritas utama yang mengelola registri dan menetapkan metodologi penghitungan emisi. Perpres ini juga memperkuat peran lintas sektor dengan membuka ruang bagi partisipasi lembaga keuangan dan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terutama dalam penyelenggaraan bursa karbon di Indonesia.
Pertajam Riset Hukum Anda dengan Legal Hero
Perubahan regulasi seperti Perpres 110 Tahun 2025 menunjukkan bahwa isu lingkungan kini tak bisa dipisahkan dari dinamika hukum dan pasar. Di tengah kompleksitas sistem baru ini, pelaku usaha dan praktisi hukum membutuhkan pemahaman yang solid agar bisa menavigasi peluang maupun risiko yang muncul. Legal Hero dari Hukumku hadir untuk menjembatani kebutuhan itu memberikan akses cepat ke analisis hukum, ringkasan regulasi, dan solusi legal yang relevan bagi tantangan masa depan.