Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XXII/2024 telah menjadi perhatian di sektor keuangan, khususnya asuransi. Dalam putusan ini, MK menguji ketentuan dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum dan melemahkan posisi perlindungan terhadap tertanggung.
Artikel ini akan mengulas pokok-pokok putusan MK, norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, serta bagaimana dampak dari putusan tersebut terhadap industri asuransi di Indonesia.
Prinsip Utmost Good Faith dalam Asuransi
Hubungan hukum antara tertanggung dan penanggung di dalam asuransi harus memiliki pondasi fundamental, yaitu utmost good faith. Prinsip ini mengharuskan kedua belah pihak penyampaian informasi yang lengkap dan jujur terkait risiko yang diasuransikan. Contohnya jika kita membeli asuransi kesehatan, maka kita harus mengungkapkan riwayat medis kita secara lengkap. Namun dalam praktiknya, prinsip ini cenderung diterapkan secara timpang.
Perusahaan asuransi lebih sering menggunakan asas hukum ini untuk membebankan tanggung jawab disclosure pada tertanggung. Misalnya, jika tertanggung gagal menyebutkan kondisi kesehatan tertentu secara lengkap saat pengajuan, maka perusahaan dapat menolak klaim atau bahkan membatalkan pertanggungan. Hal ini tetap bisa terjadi meskipun kesalahan tersebut tidak disengaja atau tanpa niat buruk.
Kondisi ini berpijak pada Pasal 251 KUHD, yang menyatakan bahwa setiap pernyataan tidak benar atau tidak lengkap dari tertanggung dapat menjadi alasan batalnya pertanggungan.
Sayangnya, norma ini tidak mengatur perlunya pembuktian adanya niat buruk (fraudulent intent) maupun mekanisme pengujian objektif terhadap kelalaian informasi. Akibatnya, banyak perusahaan asuransi menafsirkan bahwa bentuk kesalahan sekecil apa pun bisa jadi dasar penolakan klaim, tanpa harus melalui proses hukum. Dalam konteks inilah, muncul urgensi untuk meninjau ulang bagaimana prinsip utmost good faith seharusnya ditegakkan di sistem hukum asuransi di Indonesia.
Inti dari Putusan MK No. 83/PUU-XXII/2024
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 83/PUU-XXII/2024 merupakan jawaban terhadap praktik sepihak yang kerap terjadi dalam industri asuransi akibat penerapan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Dalam permohonan uji materi ini, pemohon menilai norma tersebut membuka ruang ketidakadilan, karena memberi kuasa mutlak kepada perusahaan asuransi untuk menolak klaim dengan alasan yang bersifat administratif atau teknis, bahkan jika kesalahan tersebut tidak dimotivasi dengan niat buruk. Hal ini dianggap bertentangan dengan prinsip equality before the law dan perlindungan hak konstitusional warga negara atas keadilan dalam hubungan hukum privat.
Mahkamah menyetujui argumen tersebut dan menyatakan bahwa Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat, yaitu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai bahwa penanggung dapat secara sepihak membatalkan pertanggungan tanpa kesepakatan atau tanpa putusan pengadilan. Dengan demikian, pembatalan pertanggungan kini hanya sah apabila dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara tertanggung dan penanggung, atau jika ditetapkan oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dampak Putusan terhadap Industri Asuransi
Putusan MK No. 83/PUU-XXII/2024 menandai pergeseran penting dalam penerapan prinsip utmost good faith dalam kontrak asuransi di Indonesia. Sebelumnya, perusahaan asuransi dapat secara sepihak membatalkan pertanggungan apabila menemukan bahwa tertanggung tidak sepenuhnya jujur atau transparan meskipun tidak ada niat buruk. Kini, melalui putusan tersebut, pembatalan sepihak semacam itu tidak lagi sah secara hukum.
Salah satu implikasi utamanya adalah penegasan bahwa asas utmost good faith berlaku timbal balik, tidak hanya dibebankan pada tertanggung. Penanggung kini juga wajib memberikan penjelasan dan informasi secara penuh. Selain itu, kedudukan tertanggung dan penanggung dalam kontrak menjadi setara, termasuk dalam menafsirkan apakah terjadi pelanggaran terhadap asas tersebut. Ini berdampak langsung pada standar operasional perusahaan asuransi, mulai dari proses underwriting, redaksional polis, hingga tata cara penyelesaian klaim.
Lebih jauh, putusan ini menutup ruang untuk pembatalan sepihak oleh penanggung. Setiap pembatalan kini harus didasarkan pada kesepakatan bersama atau melalui mekanisme hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata. Perusahaan asuransi perlu melakukan penyesuaian dokumen dan proses agar selaras dengan prinsip perlindungan hukum yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi. Bagi tertanggung, putusan ini memberikan kepastian bahwa hak mereka tidak dapat dikesampingkan sepihak oleh penanggung.