Saat menikah, cinta seringkali menjadi fokus utama, tapi status hukum atas harta kerap terabaikan, padahal ini bisa menjadi sumber sengketa besar saat terjadi perceraian.
Artikel ini akan membedah tuntas tiga jenis harta dalam perkawinan menurut hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga setiap pasangan dapat memahami hak dan kewajiban finansialnya.
Dasar Hukum Pengaturan Harta dalam Perkawinan
Dalam memahami hak dan kewajiban suami-istri terkait harta dalam pernikahan, penting untuk merujuk pada aturan hukum yang berlaku. Landasan ini nantinya akan membantu pasangan mengetahui batasan, hak, dan kewajiban mereka secara sah. berikut beberapa dasar hukum yang perlu Anda perhatikan:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut Pasal 35, harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan atau yang diperoleh dari hadiah/warisan tetap milik pribadi.
Pasal 36 mengatur bahwa pengelolaan harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak, sedangkan harta bawaan dapat dikelola sepenuhnya oleh pemiliknya.
Sementara Pasal 37 menegaskan pembagian harta bersama saat perceraian mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, demi melindungi hak kedua pihak.
2. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
KHI digunakan sebagai landasan bagi masyarakat yang beragama Islam untuk mengatur hak dan kewajiban harta dalam perkawinan, termasuk hak suami-istri atas harta bawaan, harta bersama, dan pembagian harta saat perceraian sesuai prinsip syariah.
Intinya, KHI menyesuaikan pengaturan harta dalam perkawinan dengan prinsip syariah, sehingga pasangan Muslim memiliki panduan hukum yang jelas dan sah secara agama.
Tiga Jenis Harta Perkawinan untuk Hindari Sengketa
Memahami jenis harta dalam pernikahan sangat penting agar pasangan tahu hak dan kewajiban masing-masing. Tidak semua harta yang diperoleh selama pernikahan otomatis menjadi milik bersama. Berikut tiga jenis harta yang wajib diketahui oleh setiap pasangan:
1. Harta Bawaan (Harta Pribadi Sebelum Menikah)
Harta bawaan adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh suami atau istri sebelum menikah. Contohnya termasuk rumah yang dibeli saat masih lajang atau tabungan pribadi sebelum pernikahan.
Secara hukum, harta ini tetap menjadi milik pribadi pemiliknya. Pasangan yang memiliki harta bawaan berhak penuh untuk mengelola, menggunakan, atau melakukan perbuatan hukum atas harta tersebut, sesuai dengan Pasal 35 ayat 2 UU Perkawinan.
2. Harta Bersama
Sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, baik dari hasil usaha bersama maupun dari salah satu pihak. Contohnya meliputi gaji suami atau istri, rumah atau kendaraan yang dibeli setelah menikah, serta keuntungan usaha yang diperoleh selama perkawinan.
Baca Juga: Pentingnya Perjanjian Pisah Harta Apabila Pasangan Mengajukan Kepailitan
Harta ini menjadi milik bersama, sehingga untuk melakukan tindakan hukum penting, seperti menjual atau menjaminkan harta, yang wajib mendapatkan persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat 1 UU Perkawinan).
Nah, Jika nantinya pernikahan berakhir dengan perceraian, prinsip harta bersama ini adalah dengan dibagi dua sama rata, yaitu ½ untuk suami dan ½ untuk istri.
3. Harta dari Hadiah atau Warisan
Terakhir, Harta ini diperoleh salah satu pasangan selama perkawinan, namun bukan berasal dari hasil kerja, melainkan dari hibah (hadiah), wasiat, atau warisan. Berdasarkan Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, harta tersebut tetap menjadi milik pribadi penerimanya, kecuali jika ada perjanjian khusus atau ketentuan dari pemberi hibah/warisan yang mengatur sebaliknya.
Misalnya, jika istri mendapat rumah dari orang tuanya, rumah itu tetap menjadi milik pribadi istri meskipun diterima setelah menikah.
Kesalahpahaman sering terjadi karena banyak pasangan mengira semua harta yang diperoleh selama pernikahan otomatis menjadi harta bersama. Padahal, hukum telah menegaskan bahwa harta hibah atau warisan memiliki status terpisah dari harta bersama.
Bagaimana dengan Utang dalam Perkawinan?
Selain harta, utang yang dibuat selama perkawinan juga memiliki aturan tersendiri. Utang yang dibuat untuk kepentingan dan kebutuhan keluarga, seperti membayar kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak, atau usaha bersama akan menjadi tanggung jawab bersama dan dibebankan pada harta bersama.
Sebaliknya, utang yang dibuat untuk kepentingan pribadi, misalnya membeli barang pribadi atau pengeluaran individu, menjadi tanggung jawab masing-masing pasangan dan tidak membebani harta bersama.
Peran Penting Perjanjian Perkawinan
Selain pengaturan harta dan utang, pasangan juga bisa mengatur hak dan kewajiban mereka melalui Perjanjian Perkawinan atau perjanjian pranikah. Aturan default mengenai pembagian harta berlaku hanya jika pasangan tidak membuat kesepakatan lain.
Dengan perjanjian ini, konsep harta bersama bisa diubah atau bahkan ditiadakan, sehingga hak dan kewajiban atas harta menjadi jelas bagi kedua pihak. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, perjanjian ini dapat dibuat sebelum menikah maupun selama perkawinan, memberikan kepastian hukum dan mengurangi potensi sengketa di kemudian hari.
Kesimpulan
Dalam perkawinan, ada tiga jenis harta yang penting untuk dipahami. Harta bawaan adalah milik pribadi yang dimiliki sebelum menikah, harta bersama diperoleh selama perkawinan dan menjadi milik bersama sehingga tindakan hukum penting memerlukan persetujuan kedua pihak, dan harta dari hadiah atau warisan tetap menjadi hak pribadi pasangan yang menerimanya. Perlu diperhatikan bahwa memahami status harta bukanlah tanda ketidakpercayaan, melainkan bentuk perencanaan keuangan yang bijak dan bagian dari transparansi yang dapat mencegah konflik di masa depan.
Memahami status harta bukan tanda ketidakpercayaan, melainkan langkah bijak untuk menjaga keuangan keluarga. Jika Anda ingin memastikan hak atas aset atau menyusun perjanjian perkawinan yang sah, konsultasikan dengan mitra ahli di Hukumku.
Download aplikasinya sekarang dan dapatkan akses ke konsultan hukum maupun notaris berpengalaman, kapan pun, di mana pun!
