Hak Atas Kekayaan Intelektual atau HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta, baik perorangan atau kelompok, atas hasil pemikiran dan kreativitasnya. Di antaranya ada Paten, Desain Industri, Merek, Hak Cipta, Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST).
Namun demikian, potensi munculnya kasus pelanggaran HAKI bisa saja terjadi. Lantas, apa saja kasus pelanggaran HAKI di Indonesia? Artikel ini membahas tiga contoh kasus HAKI yang dilanggar lengkap dengan analisis permasalahannya masing-masing.
Kasus Merek Pierre Cardin
Pierre Cardin merupakan salah satu merek asal Prancis yang membidangi industri pakaian. Mereka telah memulai bisnis sejak 1950-an di sana, kemudian mengembangkan jangkauan pasarnya sampai ke daerah Asia Tenggara.
Adapun pihak Pierre Cardin baru secara resmi mendapatkan hak eksklusif merek di Prancis pada 1974 silam, dua puluh tahunan setelah bergerak di industri terkait. Namun demikian, pada tanggal 29 Juli 1977, di Indonesia muncul pula merek serupa yang didaftarkan oleh Wenas Widjaja.
Sebagaimana dikutip dari Hukum Online, Pierre Cardin Prancis sempat mengajukan gugatan pada 1981 terkait merek yang serupa ini. Akan tetapi, pihak lokal sebagai perusahaan baju ini berhasil memenangkan sengketanya.
Merek yang hadir di Indonesia tersebut beralih ke Raiman, kemudian dialihkan kepada Eddy Tan pada 24 Oktober 1985. Lalu Pierre Cardin dipindahtangankan lagi ke Alexander Satryo Wibowo mulai tanggal 18 Mei 1987.
Hak eksklusif Merek Pierre Cardin di Indonesia diperpanjang oleh Alexander beberapa kali. Kemudian baru didaftarkan sebagai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) pada 6 Februari 2009, bernomor ID000192198.
Adapun Pierre Cardin dari negeri Eropa melakukan penggugatan untuk yang kedua kalinya pada 2015. Gugatan mereka ke Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ternyata ditolak, sehingga harus dijalankan kasasi pada 2018.
Tepat tanggal 28 Juni 2018, Mahkamah Agung menolak pengajuan kasasi tersebut. Alasan mengapa kasasi ditolak adalah kasus terkait sudah pernah mendapatkan gugatan pada 1981 silam, sehingga langkah kedua tidak dapat dilakukan. Keputusan terkait penolakan ini baru disampaikan pada September 2018.
Seandainya kita melihat secara lebih jelas, sudah jelas bahwa adanya keterkaitan antara penamaan merek Pierre Cardin Prancis dan Indonesia. Kemungkinan penelusuran lebih lanjut mengenai plagiasi merek tentu bisa saja dilakukan.
Akan tetapi, belum tampak bagaimana regulasi HAKI yang tepat untuk menjawab perselisihan perusahaan beda negara ini. Dengan begitu, kita hanya dapat mengikuti keputusan pihak yang berwenang mengadili perkara.
Hanya terdapat satu aturan tertulis dari Putusan MA No. 3485 K/pdt/1992 yang menyebutkan hal berikut:
“Bahwa dalam Konvensi Paris juga telah disyariatkan kepada seluruh peserta memberikan perlakuan yang sama dalam rangka melindungi merek terkenal dari manapun asalnya, karena Indonesia sendiri sebagai peserta dan ikut meratifikasi hasil Konvensi Paris bahkan tanpa reserve dan oleh karena itu hasil Konvensi Paris itu harus ditaati.”
Jika mengikuti keterangan di atas, seharusnya Pierre Cardin Prancis mendapatkan izin untuk melakukan kasasi demi perlindungan HAKI internasional. Namun demikian, aturan itu masih belum spesifik menjabarkan langkah-langkahnya.
Kasus Merek Gajah Duduk Palsu
Gajah Duduk merupakan salah satu brand pakaian muslim yang cukup populer di Indonesia. Merek tersebut sempat dilanggar secara HAKI, di mana ada perusahaan lain yang menggunakan nama untuk menjual barang serupa.
Seperti isi Putusan 438/pid.Sus/2023/PT SMG, kronologi kasusnya bermula dari perolehan informasi yang diterima oleh Sales Manager PT Gajah Duduk. Ia mendapatkan kabar bahwa terdapat nama produk serupa yang dijual di pasaran.
Penyidikan pasar pun dilakukan oleh perusahaan terhadap barang yang diperjual-belikan. Sesuai dengan analisis pihak internal, produk yang dimaksud bukan berasal dari perusahaan PT Gajah Duduk.
Lanjut diketahui bahwa pihak yang menggunakan merek Gajah Duduk palsu merupakan PT Pisma Abadi Jaya. Laporan pun dibuat oleh pihak yang dirugikan, menyebutkan nama Mokhamad Khanif, Direktur PT Pisma Abadi Jaya, sebagai tersangkanya.
Pemakaian merek palsu tersebut dilakukan oleh Khanif bersama-sama dengan produsen, termasuk untuk penempelan merek dan mengemas barangnya. Dilansir Detik Jateng, vonis bersalah kepada Khanif dijatuhkan lewat sidang tanggal 7 Juli 2023.
Sesuai keputusan pengadilan, Mokhamad Khanif akhirnya memperoleh hukuman berupa pidana penjara dan denda.
Melihat kasus merek Gajah Duduk palsu di atas, kita dapat secara jelas melihat bahwa pembuatan produk dengan nama merek perusahaan lain termasuk jenis pelanggaran HAKI. Oleh sebab itu, Anda tidak boleh sembarangan meniru merek, produk, ataupun kreativitas perusahaan lain.
Kasus Ayam Geprek Bensu
Kasus pelanggaran HAKI ketiga bisa kita lihat dari permasalahan Ayam Geprek Bensu dengan I Am Geprek Bensu. Bermula dari Yangcent Kurniawan dan Stefani Livinus yang membuat tempat makan I Am Geprek Bensu.
Kemudian Ruben Onsu hadir sebagai duta promosi perusahaan tersebut. Nama artis sekaligus komedian asal Indonesia ini pun akhirnya dijadikan sebagai brand ambassador restoran cepat saji I Am Geprek Bensu.
Ternyata nama “I Am Geprek Bensu” sudah pernah didaftarkan terlebih dahulu oleh Benny Sujono, seperti dilansir Kompas. Melihat latar belakang pekerjaan Ruben Onsu di perusahaan I Am Geprek Bensu, majelis hakim tidak menyalahkannya karena ia hanya mempromosikan.
Adapun Ruben membuat restoran “Geprek Bensu” pada Agustus 2017 silam. Artis tersebut melakukan gugatan untuk nama “Bensu” yang terlampir di merek perusahaan Benny Sujono, namun tidak menghasilkan apapun. Begitu juga nasib Yangcent atas nama “I Am Geprek Bensu Sedep Bener” yang disomasi Ruben pada 2019.
Berbeda dengan itu, PT Ayam Geprek Benny Sujono meminta ajuan gugatan balik (rekonvensi). Ketentuan itu diajukan oleh Benny Sujono lantaran Ruben meminta biaya ganti rugi sebanyak 100 miiliar rupiah.
Ruben Onsu pun mengajukan kasasi, namun ditolak. Permasalahan kemudian dilanjutkan dengan penggugatan Benny Sujono kepada Dirjek HAKI Kemenkumham atas penghapusan merek yang dikelolanya.
Padahal, seharusnya Dirjen HAKI menjalankan keputusan MA yang mengharuskan pembatalan merek Ruben Onsu. Adapun pada April 2022 silam Ruben Onsu mendapatkan gugatan oleh Benny Sujono sebesar Rp100 miliar.
Perselisihan ini masih berjalan hingga kemunculan permohonan kasasi terakhir bernomor 705/Pdt.sus-HKI/2023 yang diajukan Benny Sujono. Adapun kasus ini secara garis besar memperlihatkan kita tentang bagaimana kompleksitas sebuah penamaan merek sebagai salah satu jenis HAKI.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, HAKI merupakan hak eksklusif yang perlu dilindungi agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kebanyakan kasus pelanggaran HAKI di Indonesia meranah ke jenis merek.
Kasus Pierre Cardin dan Ayam Geprek Bensu memperlihatkan kita bagaimana merek bisa menjadi permasalahan penting. Kendati tidak ada maksud meniru, orang bisa saja mengajukan gugatan hanya karena namanya serupa.
Berbeda dengan itu, kasus Gajah Duduk palsu sudah benar-benar jelas memperlihatkan pelanggaran hak merek pemilik aslinya. Pihak PT Pisma Abadi Jaya, khususnya Khanif yang menjabat sebagai direktur, telah memberikan keterangan bahwa ia memang melakukan pemalsuan merek untuk produk industrinya.
Dengan begitu, kita harus hati-hati terhadap pembuatan merek agar tidak mendapatkan gugatan dari pihak lain. Selebihnya, jangan pernah lakukan pemalsuan karena itu sudah jelas salah dan termasuk bentuk pelanggaran HAKI.
Berhubungan dengan itu, Hukumku menyediakan layanan pembuatan HAKI agar para pebisnis bisa mendapatkan hak eksklusifnya masing-masing. Anda akan dibantu lewat konsultasi, verifikasi, dan sebagainya.
Konsultasikan kebutuhan anda dengan kami
Komentarze