Force majeure dan hardship merupakan dua konsep hukum yang sering muncul dalam sengketa kontrak, tetapi memiliki implikasi hukum yang berbeda bagi para pihak.
Artikel ini akan membantu advokat memahami perbedaan force majeure dengan hardship agar dapat memberikan strategi hukum yang tepat.
Force Majeure (Keadaan Kahar)
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Perikatan Indonesia (2010), force majeure adalah “kejadian yang tidak bisa diprediksi, tidak bisa dihindari, dan berada di luar kendali pihak yang terikat kontrak sehingga kontrak tidak bisa dijalankan” (hlm. 112).
Artinya, force majeure bukan hanya soal kesulitan ekonomi, tetapi benar-benar kejadian luar biasa yang menghambat pelaksanaan kontrak. Dengan adanya klausul keadaan kahar, pihak yang terdampak bisa dibebaskan sementara atau permanen dari kewajibannya, tergantung pada situasi yang terjadi.
Secara hukum di Indonesia, konsep ini didasarkan pada Pasal 1244 dan Pasal 1254 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa debitur dibebaskan dari kewajiban jika prestasinya tidak bisa dilakukan karena hal-hal di luar kendali. Selain itu, praktik internasional seperti ICC Force Majeure Clause 2020 juga menjadi rujukan untuk menyusun klausul dalam kontrak bisnis modern.
Ciri-ciri force majeure:
- Kejadian tidak bisa diprediksi saat kontrak dibuat.
- Kejadian tidak bisa dihindari meski sudah berusaha semaksimal mungkin.
- Kejadian di luar kendali pihak kontrak, misalnya bencana alam, perang, pandemi, atau larangan pemerintah.
Contoh penerapan:
- Gempa bumi atau banjir yang menghancurkan fasilitas produksi.
- Pandemi yang memaksa penutupan pabrik dan menghentikan distribusi.
- Larangan pemerintah yang menghentikan aktivitas tertentu sehingga kontrak tidak bisa dijalankan.
Hardship (Keadaan Sulit)
Menurut C.H. van Rhee dalam bukunya International Contract Law (2018), hardship terjadi ketika “suatu keadaan baru yang tidak dapat diprediksi dan sangat memberatkan, membuat pelaksanaan kontrak secara literal menjadi tidak seimbang dan merugikan salah satu pihak secara signifikan” (hlm. 72).
Dengan kata lain, hardship atau keadaan sulit menekankan ketidakadilan ekonomi atau perubahan kondisi yang drastis, bukan seperti force majeure yang membebaskan kewajiban karena pelaksanaan kontrak menjadi tidak mungkin, hardship tidak menghapus kewajiban, melainkan memungkinkan para pihak untuk menegosiasikan ulang atau menyesuaikan syarat kontrak agar tetap adil dan seimbang.
Dasar hukum di Indonesia yang relevan untuk konsep keadaan sulit berasal dari Pasal 1338 KUHPerdata, yang menekankan asas kebebasan berkontrak dan itikad baik (good faith). Pasal ini menjadi dasar bagi pengadilan untuk menilai apakah kondisi baru yang muncul menimbulkan ketidakseimbangan kontraktual sehingga memungkinkan negosiasi ulang atau penyesuaian kontrak.
Selain itu, dalam hukum kontrak internasional, UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts (2004) mengatur kondisi hardship dalam Articles 6.2.2 dan 6.2.3, yang menyebutkan bahwa pihak yang mengalami beban luar biasa berhak meminta negosiasi ulang kontrak.
Ciri-ciri hardship:
- Kejadian atau kondisi baru yang tidak dapat diprediksi saat kontrak dibuat.
- Membuat pelaksanaan kontrak sangat memberatkan secara ekonomi bagi salah satu pihak.
- Kewajiban kontrak tidak mustahil dilaksanakan, tetapi pelaksanaannya menjadi tidak seimbang atau merugikan
Contoh penerapan hardship:
- Kenaikan harga bahan baku yang drastis sehingga biaya produksi jauh melebihi perkiraan awal.
- Perubahan nilai tukar mata uang yang ekstrem yang merugikan salah satu pihak dalam kontrak internasional.
- Inflasi tinggi atau perubahan regulasi pemerintah yang membuat pelaksanaan kontrak menjadi sangat memberatkan.
Kesimpulan
Memahami perbedaan antara force majeure dan hardship adalah kunci bagi para praktisi hukum untuk menilai risiko kontrak, menyusun klausul yang tepat, dan menentukan strategi litigasi atau negosiasi yang efektif.
Untuk mendukung riset hukum Anda, Legal Hero hadir sebagai platform AI yang menyediakan akses cepat ke jutaan dokumen hukum, putusan pengadilan, dan referensi regulasi. Dengan Legal Hero, praktisi hukum dapat menemukan preseden dan analisis kontrak yang relevan, sehingga pengambilan keputusan hukum menjadi lebih tepat, cepat, dan berbasis data.
