Dalam praktik hukum modern, advokat kerap dihadapkan pada sengketa yang timbul dari kontrak atau transaksi berbasis prinsip syariah. Perbedaan prinsip hukum syariah dibandingkan hukum konvensional menuntut pemahaman khusus agar penyelesaian sengketa dapat dilakukan secara tepat dan efektif.
Artikel ini akan membahas apa yang harus diperhatikan praktisi hukum dalam menangani sengketa ekonomi syariah, mulai dari dasar hukum hingga strategi penyelesaian.
Pengertian Sengketa Ekonomi Syariah
Sengketa ekonomi syariah adalah perselisihan yang timbul dari hubungan ekonomi yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah, seperti larangan riba, gharar (ketidakpastian berlebihan), dan maisir (spekulasi).
Menurut R. Agus Sartono dalam bukunya Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (2017), sengketa ini muncul ketika salah satu pihak merasa hak atau kewajibannya tidak dipenuhi sesuai ketentuan kontrak syariah, atau ketika interpretasi prinsip syariah dalam transaksi menimbulkan ketidakpastian.
Dengan kata lain, sengketa ekonomi syariah berbeda dengan sengketa bisnis konvensional karena mempertimbangkan kepatuhan terhadap hukum syariah sebagai bagian dari substansi kontrak, bukan sekadar kesepakatan bisnis.
Ciri-ciri sengketa ekonomi syariah antara lain melibatkan kontrak atau transaksi yang menggunakan akad syariah seperti murabahah, ijarah, musyarakah, atau mudharabah, dan kerap melibatkan lembaga keuangan syariah atau bisnis halal.
Baca Juga: Menangani Sengketa Pembayaran antara Kontraktor dan Subkontraktor
Jenis sengketa tersebut dapat muncul karena adanya pelanggaran terhadap akad, ketidakpatuhan terhadap fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), atau perbedaan interpretasi prinsip muamalah yang disepakati para pihak.
Dasar Hukum dan Regulasi Sengketa Ekonomi Syariah
- UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-undang ini mengatur prinsip-prinsip operasional bank syariah, termasuk penyelesaian sengketa yang timbul dari akad-akad syariah seperti murabahah, ijarah, mudharabah, dan musyarakah. Menurut R. Agus Sartono dalam Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (2017), pemahaman advokat terhadap UU ini sangat penting agar sengketa dapat ditangani sesuai prinsip syariah dan hukum nasional.
- UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
Undang-undang ini memberikan kewenangan bagi pengadilan agama untuk menangani sengketa yang timbul dari hubungan hukum berdasarkan prinsip syariah. Kasus terkait akad syariah seperti perkawinan, warisan, dan kontrak ekonomi syariah dapat diajukan ke pengadilan agama. UU ini memastikan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah memiliki payung hukum yang jelas di Indonesia, sekaligus menekankan penerapan prinsip muamalah syariah.
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Fatwa DSN-MUI berfungsi sebagai pedoman bagi pelaksanaan akad dan transaksi syariah yang sah. Fatwa ini mencakup berbagai jenis akad, termasuk murabahah, mudharabah, musyarakah, ijarah, dan sukuk. Dalam praktik hukum, advokat dapat merujuk pada fatwa ini sebagai dasar untuk menilai kepatuhan kontrak syariah dan menguatkan argumen dalam penyelesaian sengketa.
- Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan OJK terkait Keuangan Syariah
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan regulasi yang mengatur produk keuangan syariah, mekanisme transaksi, dan tata cara penyelesaian sengketa antara bank syariah dan nasabah. Regulasi ini memberikan panduan operasional yang jelas dan menjadi dasar hukum tambahan bagi advokat ketika menangani kasus sengketa ekonomi syariah, terutama dalam konteks perbankan syariah.
- KUHPerdata dan Hukum Nasional Lainnya
Selain regulasi khusus syariah, prinsip-prinsip umum KUHPerdata tetap berlaku, seperti asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata) dan kewajiban itikad baik dalam kontrak. Advokat perlu memahami integrasi antara hukum nasional dan prinsip syariah agar strategi penyelesaian sengketa dapat diterapkan secara efektif.
Mekanisme Penyelesaian Sengketa
- Litigasi di Pengadilan Agama
Pengadilan agama memiliki kewenangan untuk menangani sengketa yang timbul dari kontrak dan transaksi ekonomi syariah tertentu. Menurut R. Agus Sartono dalam Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (2017), litigasi menjadi pilihan utama ketika para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa secara damai.
Dasar hukumnya tercantum dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang menetapkan bahwa pengadilan agama berwenang menangani perkara terkait akad syariah, termasuk kontrak perbankan syariah dan akad bisnis halal. Litigasi memberikan putusan yang bersifat mengikat secara hukum dan dapat dieksekusi melalui mekanisme peradilan.
- Arbitrase Syariah
Arbitrase syariah menjadi alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Lembaga seperti Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) menyediakan forum untuk menyelesaikan perselisihan berdasarkan prinsip syariah secara cepat dan fleksibel.
Dasar hukum dan pedoman arbitrase syariah mengacu pada UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta fatwa DSN-MUI sebagai acuan prinsip syariah. Arbitrase syariah menekankan itikad baik (good faith) dan penyelesaian damai, sehingga sering digunakan dalam sengketa perbankan syariah dan transaksi bisnis berbasis akad.
- Mediasi Berbasis Syariah
Mediasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa secara musyawarah dan mufakat, yang juga bisa dilakukan dengan pendekatan syariah. Dalam mediasi syariah, advokat membantu klien menyusun solusi yang sesuai dengan prinsip muamalah dan fatwa DSN-MUI. Mediasi ini didukung oleh UU No. 30 Tahun 1999 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang menekankan penyelesaian sengketa secara damai dengan tetap mengacu pada hukum yang berlaku.
- Kombinasi Litigasi dan Non-Litigasi
Dalam praktik, advokat dapat menggunakan strategi gabungan antara litigasi dan penyelesaian alternatif (arbitrase atau mediasi) sesuai karakter sengketa dan kesepakatan para pihak. Strategi ini sering diterapkan untuk mempercepat penyelesaian, meminimalkan biaya, dan menjaga hubungan bisnis klien. Advokat harus memastikan bahwa setiap langkah tetap mengacu pada peraturan hukum nasional dan prinsip syariah.
Tantangan dan Hal yang Perlu Diperhatikan
- Kompleksitas Kontrak Syariah
Salah satu tantangan utama dalam sengketa ekonomi syariah adalah kompleksitas kontrak berbasis akad syariah. Kontrak seperti murabahah, ijarah, musyarakah, dan mudharabah memiliki istilah khusus dan mekanisme yang berbeda dari kontrak konvensional. Menurut R. Agus Sartono dalam Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (2017), advokat harus memahami struktur akad, hak dan kewajiban pihak, serta prinsip muamalah yang berlaku agar dapat menilai apakah terjadi pelanggaran atau ketidaksesuaian dalam kontrak.
- Perbedaan Interpretasi Fatwa DSN-MUI
Fatwa DSN-MUI menjadi pedoman pelaksanaan akad syariah, namun interpretasi terhadap fatwa ini dapat berbeda antara lembaga atau praktisi hukum. Perbedaan interpretasi ini menjadi tantangan dalam penyelesaian sengketa, terutama jika para pihak atau pengadilan menafsirkan prinsip muamalah secara berbeda. Advokat perlu merujuk langsung pada fatwa terkait dan literatur hukum syariah untuk memastikan argumentasi hukum yang akurat.
- Keterbatasan Putusan Yurisprudensi di Indonesia
Sengketa ekonomi syariah relatif baru dalam praktik hukum Indonesia, sehingga jumlah putusan yurisprudensi masih terbatas. Menurut M. Bisri dalam Hukum Perbankan Syariah dan Penyelesaian Sengketa (2019), advokat sering kali harus menggabungkan peraturan nasional, fatwa DSN-MUI, dan prinsip hukum kontrak umum untuk menyusun strategi hukum. Keterbatasan preseden ini menuntut advokat untuk lebih kreatif dan teliti dalam menyiapkan argumentasi hukum.
- Integrasi dengan Hukum Nasional dan Praktik Internasional
Sengketa ekonomi syariah harus selalu selaras dengan hukum nasional, seperti KUHPerdata, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Selain itu, praktik bisnis internasional juga dapat memengaruhi kontrak syariah, terutama dalam transaksi lintas negara atau penggunaan produk keuangan syariah global. Advokat perlu memperhatikan integrasi antara hukum nasional, prinsip syariah, dan praktik internasional agar penyelesaian sengketa sah dan dapat diterima secara hukum.
- Risiko Litigasi dan Strategi Penyelesaian Alternatif
Tantangan lain adalah menentukan apakah sengketa harus diselesaikan melalui litigasi di pengadilan agama, arbitrase syariah, atau mediasi. Setiap mekanisme memiliki risiko dan keuntungan tersendiri, termasuk biaya, waktu, dan keberlanjutan hubungan bisnis klien. Advokat harus menilai karakteristik sengketa dan kepatuhan akad syariah sebelum memilih strategi penyelesaian yang tepat.
Riset dan Analisis Dokumen Hukum dengan Legal Hero
Memahami sengketa ekonomi syariah menjadi keharusan bagi advokat dan praktisi hukum untuk memberikan nasihat yang tepat, menyusun strategi penyelesaian, dan memastikan kepatuhan terhadap prinsip syariah serta regulasi nasional. Legal Hero hadir sebagai platform AI yang menyediakan jutaan dokumen hukum dan putusan pengadilan, sehingga mempermudah riset hukum dan pengambilan keputusan yang berbasis data.
