5 Fakta Hukum tentang Kawin Lari yang Wajib Diketahui
- Tim Penulis Hukumku
- 26 Mar
- 6 menit membaca

Kata orang, cinta itu buta. Hal inilah yang menjadi banyak alasan orang memilih melakukan kawin lari. Kawin lari sendiri merupakan suatu tindakan melangsungkan pernikahan tanpa mengikuti aturan yang berlaku, baik dalam agama, adat, maupun negara. Banyak pasangan memilih kawin lari karena berbagai alasan, seperti perbedaan restu keluarga atau alasan ekonomi.
Namun, apakah kawin lari memiliki dasar hukum yang sah? Tim Penulis Hukumku ini akan membahas lima fakta hukum penting yang harus diketahui sebelum memutuskan untuk kawin lari.
Keabsahan Hukum Kawin Lari di Indonesia
Dalam hukum Indonesia, kawin lari tidak serta-merta diakui sebagai pernikahan yang sah. Keabsahan pernikahan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang telah diperbarui dengan UU Nomor 16 Tahun 2019.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, pernikahan dianggap sah jika dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing pasangan. Namun, agar memiliki kekuatan hukum, pernikahan juga harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan Muslim atau di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) bagi pasangan non-Muslim.
Pasangan yang melakukan kawin lari sering menghadapi kendala dalam pencatatan pernikahan mereka. Jika tidak segera dicatatkan, pernikahan tersebut dapat dianggap tidak sah secara hukum, yang berakibat pada berbagai konsekuensi hukum.
Konsekuensi Hukum bagi Pasangan yang Kawin Lari
Pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan resmi oleh negara, atau sering disebut kawin lari, menimbulkan berbagai konsekuensi hukum yang signifikan, baik bagi pasangan yang terlibat maupun bagi anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Meskipun pernikahan ini bisa saja diakui oleh agama atau adat setempat, namun tidak diakui secara sah oleh negara, yang berimplikasi pada hilangnya banyak hak hukum bagi pasangan dan anak yang terlibat.
Implikasi Hukum Jika Pernikahan Tidak Tercatat Secara Resmi
Pernikahan yang tidak tercatat secara resmi oleh negara memiliki banyak dampak hukum. Secara hukum, pasangan yang menikah dalam pernikahan tidak tercatat tidak diakui sebagai suami-istri yang sah oleh negara. Ini berarti pasangan tersebut tidak memiliki hak yang biasanya diberikan oleh sistem hukum negara, seperti hak atas harta bersama, hak nafkah, atau perlindungan hukum terkait hak perdata lainnya. Dalam kasus perceraian, pernikahan yang tidak tercatat akan menyulitkan perempuan untuk memperoleh pembagian harta atau hak asuh anak karena statusnya tidak diakui.
Hak Waris dan Hak Perwalian Anak dalam Pernikahan yang Tidak Diakui Negara
Dalam pernikahan yang tidak tercatat secara resmi, hak waris anak dan pasangan bisa menjadi sangat terbatas. Anak yang lahir dari pernikahan tidak tercatat berisiko kehilangan hak waris dari orang tua, terutama jika orang tua yang meninggal dunia berasal dari keluarga yang tidak mengakui pernikahan tersebut.
Tanpa pengakuan hukum atas status pernikahan, anak tersebut bisa dipandang sebagai anak luar nikah yang hanya berhak atas warisan dari orang tua yang mengakui mereka secara pribadi, namun tidak dapat mewarisi dari orang tua yang tidak tercatat.
Potensi Gugatan Hukum dari Pihak Keluarga
Selain masalah internal antara pasangan, keluarga besar juga dapat terlibat dalam gugatan hukum terkait pernikahan yang tidak tercatat. Keluarga besar dari pasangan yang meninggal dunia atau yang merasa pernikahannya tidak sah, berpotensi menggugat pembagian harta warisan.
Mereka dapat mengklaim bahwa pasangan yang masih hidup tidak berhak atas warisan karena pernikahan yang tidak tercatat tidak diakui secara hukum. Ini dapat menciptakan ketegangan dan memicu sengketa keluarga yang panjang terkait pembagian aset dan hak warisan.
Kawin Lari dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Negara
Pernikahan adalah ikatan yang diatur dalam berbagai sistem hukum, baik itu hukum adat, agama, maupun hukum negara. Setiap sistem ini memiliki pandangan dan aturan yang berbeda mengenai kawin lari.
Dalam banyak sistem hukum adat di Indonesia, pernikahan yang sah tidak hanya dipandang dari aspek legalitas formal atau pencatatan negara, tetapi juga berdasarkan pengakuan masyarakat dan adat-istiadat setempat. Oleh karena itu, kawin lari bisa dipandang sah maupun tidak bergantung pada kemauan untuk mengikuti syarat pernikahan dalam adat serta restu keluarga besar dan masyarakat adat setempat.
Baca Juga: Mengenal Perjanjian Pra Nikah
Lalu, dalam pandangan agama mengenai kawin lari juga tergantung pada keyakinan masing-masing. Dalam agama Islam, misalnya, pernikahan memiliki syarat sahnya yang jelas, yaitu adanya ijab kabul, mahar, dan saksi yang hadir pada saat akad nikah. Dalam hal ini, pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan resmi bisa tetap sah menurut agama jika memenuhi persyaratan tersebut.
Namun, dalam perspektif hukum negara, kawin lari atau pernikahan yang tidak tercatat di catatan sipil memiliki implikasi yang serius. Di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang dan dicatat oleh negara. Pasal 2 ayat (1) UU tersebut menyatakan, "Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Tanpa pencatatan resmi, pasangan yang menikah tidak memiliki hak hukum yang diakui oleh negara, termasuk hak atas harta bersama, hak waris, dan hak asuh anak. Hal ini sejalan dengan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 juga mengatur bahwa, "Pernikahan yang tidak dicatatkan adalah tidak sah menurut hukum negara."
Cara Melegalkan Pernikahan Hasil Kawin Lari
Untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasangan yang menikah secara tidak tercatat, langkah-langkah legalisasi perlu diambil agar pernikahan tersebut diakui oleh negara. Ada dua cara utama untuk melegalkan pernikahan hasil kawin lari, yaitu melalui prosedur itsbat nikah di Pengadilan Agama bagi pasangan Muslim, dan proses pencatatan nikah bagi pasangan non-Muslim.
Prosedur Itsbat Nikah di Pengadilan Agama bagi Pasangan Muslim
Bagi pasangan Muslim yang menikah tanpa pencatatan resmi, langkah pertama untuk melegalkan pernikahan mereka adalah dengan mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) ke Pengadilan Agama. Proses itsbat nikah ini adalah prosedur hukum untuk mengakui dan mencatatkan pernikahan yang tidak tercatat oleh negara.
Pasangan yang ingin melakukan itsbat nikah harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dengan membawa bukti-bukti yang mendukung bahwa mereka telah menikah, meskipun pernikahan tersebut tidak tercatat. Bukti yang diperlukan bisa berupa saksi-saksi yang hadir saat pernikahan atau dokumen-dokumen lain yang menguatkan bahwa mereka telah menikah secara agama.
Pengadilan Agama akan memeriksa permohonan dan bukti yang diajukan, serta mendengarkan keterangan dari pihak-pihak terkait, seperti saksi dan keluarga, untuk memastikan keabsahan pernikahan tersebut. Setelah proses ini selesai, Pengadilan Agama akan mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa pernikahan tersebut sah dan dapat dicatatkan di catatan sipil.
Proses Pencatatan Nikah bagi Pasangan Non-Muslim
Bagi pasangan non-Muslim, proses untuk melegalkan pernikahan yang tidak tercatat dilakukan melalui catatan sipil. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dilakukan sesuai dengan hukum agama masing-masing dan dicatatkan oleh negara. Namun, bagi pasangan non-Muslim yang menikah tanpa pencatatan, mereka harus mengajukan permohonan pencatatan nikah di Kantor Catatan Sipil setempat.
Proses pencatatan ini melibatkan pengajuan permohonan dengan melampirkan bukti-bukti pernikahan, seperti surat pernyataan dari saksi-saksi yang hadir pada saat pernikahan atau dokumen lainnya yang mengonfirmasi bahwa pasangan tersebut benar-benar telah menikah. Setelah berkas dinyatakan lengkap, petugas catatan sipil akan memproses dan mencatatkan pernikahan tersebut. Setelah pencatatan selesai, pasangan akan diberikan akta nikah yang sah secara hukum negara.
Melangsungkan pernikahan tanpa pencatatan resmi oleh negara bisa menimbulkan konsekuensi hukum bagi pasangan yang terlibat. Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan yang tidak tercatat dianggap tidak sah menurut hukum negara.
Meskipun demikian, tidak ada sanksi pidana langsung yang dikenakan kepada pasangan yang menikah tanpa pencatatan, namun mereka berisiko kehilangan hak-hak hukum yang biasanya diberikan kepada pasangan yang menikah sah secara resmi, seperti hak atas pembagian harta bersama, hak waris, dan hak asuh anak.
Kawin Lari dan Perlindungan Hak Perempuan
Pernikahan yang tidak tercatat atau yang dikenal dengan istilah "kawin lari" adalah pernikahan yang dilakukan tanpa tercatat secara resmi oleh negara di kantor catatan sipil atau lembaga yang berwenang. Dalam pernikahan seperti ini, perempuan menghadapi beberapa masalah besar terkait perlindungan hukum, antara lain:
Status Hukum yang Tidak Jelas: Perempuan dalam pernikahan tidak tercatat biasanya tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai, seperti hak atas harta bersama, hak waris, atau perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Akses terhadap Layanan Hukum: Karena pernikahan tersebut tidak tercatat, perempuan sering kali mengalami kesulitan untuk mengakses layanan hukum terkait hak-hak mereka, termasuk perlindungan dari KDRT, hak asuh anak, atau pembagian harta.
Risiko Eksploitasi: Dalam banyak kasus, perempuan yang menikah secara tidak tercatat bisa jadi lebih rentan terhadap tindakan kekerasan atau eksploitasi karena status pernikahannya yang tidak diakui secara sah oleh negara.
Selain itu, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah salah satu risiko terbesar yang dapat dialami oleh perempuan, terutama dalam pernikahan yang tidak tercatat. Tanpa akta pernikahan yang sah, perempuan sering kali kesulitan dalam memperoleh perlindungan hukum yang seharusnya mereka dapatkan jika pernikahannya tercatat secara resmi.
Meski demikian, perempuan yang menikah secara tidak tercatat tetap dapat mengajukan cerai melalui jalur hukum.
Konsultasikan Masalah Hukum Anda dengan Hukumku
Kawin lari memiliki dampak hukum yang signifikan bagi pasangan dan anak-anak mereka. Oleh karena itu, penting untuk memahami implikasi hukumnya dan segera mengambil langkah untuk melegalkan pernikahan tersebut.
Jika Anda atau kerabat Anda menghadapi masalah hukum terkait pernikahan, konsultasikan dengan ahli hukum untuk mendapatkan solusi yang tepat. Hubungi Hukumku untuk mendapatkan bimbingan hukum yang sesuai dengan kebutuhan Anda.