Penggabungan hak atas tanah merupakan salah satu upaya hukum dalam rangka menyatukan dua atau lebih bidang tanah yang berada dalam satu kesatuan hak dan kepemilikan. Proses ini biasanya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan tanah.
Artikel ini akan membahas aspek hukum penggabungan hak atas tanah, syarat, prosedur serta dasar hukum yang mengaturnya.
Penggabungan Hak atas Tanah
Penggabungan hak atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa bidang tanah yang digabung harus memiliki:
- pemilik yang sama
- jenis hak yang sama
- sisa masa berlaku yang seragam
Aspek Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah oleh Badan Usaha
Pengaturan mengenai jenis-jenis hak atas tanah di Indonesia secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa tidak semua subjek hukum memiliki kapasitas hukum yang sama dalam memperoleh hak atas tanah tertentu.
Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai subjek hukum perseorangan memiliki kewenangan untuk memperoleh dan memiliki Hak Milik (SHM) atas tanah. Namun, badan hukum, termasuk Perseroan Terbatas (PT), tidak diberikan kewenangan hukum untuk memiliki tanah dengan status Hak Milik.
Sebagai gantinya, badan usaha seperti PT hanya dapat diberikan hak atas tanah dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai, yang merupakan hak-hak atas tanah dengan jangka waktu tertentu dan tunduk pada ketentuan yang lebih ketat dalam hal peruntukan dan penggunaannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga struktur kepemilikan tanah nasional, serta menjamin penggunaan tanah sesuai dengan kepentingan umum dan kebijakan agraria nasional.
Mitigasi Risiko dalam Proses Pengadaan Tanah, Upaya Preventif Menghindari Sengketa Hukum
1. Kepatuhan terhadap Ketentuan Hukum yang Berlaku
Langkah pertama yang harus dikedepankan adalah penegakan prinsip legal compliance. Pengadaan tanah harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk namun tidak terbatas pada:
- Tata cara perizinan pengadaan tanah;
- Ketentuan pemberian ganti kerugian;
- Prosedur formil lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum beserta peraturan pelaksananya.
Kepatuhan terhadap kerangka hukum ini merupakan pondasi penting untuk memitigasi risiko litigasi dan memperkuat posisi hukum pelaksana proyek.
2. Dokumentasi yang Komprehensif dan Terverifikasi
Seluruh tahapan pengadaan tanah harus didukung oleh dokumen administratif dan legal yang lengkap, sah, dan terdokumentasi secara rapi. Dokumentasi ini mencakup:
- Bukti kepemilikan dan status hukum tanah;
- Hasil penilaian nilai tanah oleh appraisal independen;
- Akta perjanjian jual beli atau pelepasan hak;
- Bukti pembayaran kompensasi/ganti rugi;
- Pernyataan bebas sengketa dari pemilik tanah.
Dokumen-dokumen tersebut tidak hanya berfungsi sebagai bukti hukum, tetapi juga sebagai alat kontrol untuk mengantisipasi klaim sepihak atau sengketa di kemudian hari.
3. Pendekatan Sosial dan Partisipatif
Di samping pendekatan legal-formal, pendekatan berbasis musyawarah dan kekeluargaan juga perlu diintegrasikan dalam proses pengadaan tanah. Strategi ini meliputi:
- Komunikasi yang terbuka dan transparan dengan para pemilik tanah;
- Penyampaian informasi proyek secara jelas;
- Pelibatan masyarakat terdampak dalam proses konsultasi publik.
Pendekatan ini bertujuan untuk membangun kepercayaan, mengurangi resistensi, serta menciptakan solusi yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
Punya Permasalahan Hukum?
Hukumku sebagai platform legal-tech ternama di Indonesia, memberikan layanan konsultasi hukum secara online. Didukung dengan ratusan mitra advokat profesional, Anda bisa mendapatkan jawaban hukum dengan tepat dan terarah. Gunakan Hukumku sekarang, mulai konsultasi dengan pengacara sengketa tanah mulai dari Rp100.00/30 menit.
